(Ini adalah cerpen yang sempat ku kirim ke redaksi majalah. Tidak ada yang ku dapat. Batas waktu sudah kadaluarsa. Jadi kuputuskan untuk di bagikan saja di sini. Dari pada segalanya sia-sia. Ini memang bukan cerita yang bisa dikategorikan baik, karena sebagai penulis aku sadar akan banyak kekurangan. Untuk kemajuanku akan sangat di terima kritik yang diberikan dengan tangan terbuka. Terimakasih!)
“Pagi, kak!” sapa Viny riang.
“Pagi, cantik.” Balasku tak kalah
riang. Apalagi dia adik kelas favoritku. Sementara yang duduk 1 meter jaraknya dari
Viny hanya menoleh sedikit melihat subjek sapaan Viny. Sadar aku kakak kelas,
ia segera melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Viny. Bedanya, tanpa
nada yang jelas.
“Pagi.” Yang disapa senyam-senyum ga
jelas ngeliatin cewek yang ga ada semangat idup tadi. Selesai nyapa dia cuma
duduk di tempat yang tadi dengan posisi yang sama persis sambil baca buku. Freak.
Bel tanda masuk berbunyi. Anak itu
bangun dan melangkah masuk kelasnya. Terlalu sibuknya dia dengan
barang-barangnya sampai Ia melupakan bukunya. Aku baru akan memanggilnya ketika
dia sudah tidak kelihatan. Aku melihat sekilas isi bukunya.
Ada sebuah pembatas
buku berbentuk lilin. Atau mungkin lebih tepatnya bayanyan lilin, karena
sekujur tubuhnya hanya bewarna hitam. Isinya ditulis tangan. “Kembalikan
bukuku, pencuri!” eh salah, “Kembalikan hatiku, pencuri!”. Untung aku belum pingsan
karena terkejut. Nanti saja kukembalikan.
PKn benar-benar pelajaran yang
sangat membosankan. Mencari perhatian lain, aku kembali memperhatikan pembatas
buku milik anak tadi. Bayangan lilin ? Apa maksudnya itu ? Aku merasakan
sekujur tubuhku merinding. Kata-katanya terlalu melankolis untuk seorang anak
gaya ga jelas itu. Aku ragu dia punya seorang yang disuka. Jika memang iya,
tidakkah seharusnya ia lebih menjaga sikapnya. Kira-kira siapa pria yang
membuat matanya kelilipan itu, bagaimana suaranya, kata-katanya, dan sikapnya.
Aku benar-benar penasaran. Teman sekelasnya ? Kakak kelasnya ?Aku ? Argh.
Dia sedang makan bakmi. Aku hampir
yakin dia kelaparan. Berbeda dengan Viny, yang selalu menyapaku, anak ini
antara mengiraku roh halus atau tidak kasat mata. Aku meletakkan bukunya tepat
menyenggol mangkuk bakmienya. Tak ada reaksi.
“Tuh buku lu, tadi ketinggalan.”
Jelasku.
“Makasih.” aku memperhatikannya. Dia
cukup peka untuk merasakan tatapan mautku. Meskipun dia tidak mau menginterupsi
prosesi makan siangnya, dia menyampaikannya setelah tetes terakhir kuah bakmie
habis.
“Apa ?” tanyanya dengan mulut penuh
mie dan bibir yang bersinar-sinar terlumuri minyak. Aku hanya geleng-geleng
kepala menghadapi gadis zaman sekarang. Aku mengambil tisu di dekatku dan tanpa
kelembutan kusapukan saja tisu itu di mulutnya. Beberapa pasang mata terasa
menusuk-nusuk dan dia tampak sedikit terkejut. Aku meninggalkan kantin sambil
mempertahankan gayaku yang cool seakan
tidak terjadi apa-apa. Tidak tahan karena penasaran, akhirnya aku melirik dia
yang sedang menghabiskan minumnya. Ia memiliki gaya yang lebih baik dariku. Aku
hampir yakin kalau semua tadi itu hanya mimpi.
Hari ini suasana hati ku tidak
secerah langit pagi. Tadi pagi sih baik, sampai saat aku memakai sepatu.
Terlalu semangatnya aku ke sekolah sampai lupa mengikat tali sepatu. Tak pelak
aku jatuh terinjak sendiri. Tidak terluka parah, hanya saja emosiku jadi
meluap-luap. Bahkan melihat gadis aneh itu saja membuatku kesal. Apalagi tipe
ponselnya sama dengan milikku. Tanpa izin aku mengambil dan melihat-lihat
isinya sementara pemiliknya entah tidak tahu atau tidak peduli. Aku mendengus
kesal lalu meletakkannya kembali. Tak lama bel berbunyi dan aku masih asik
dalam lamunanku. Teguran teman menyadarkanku pelajaran pertama akan segera
dimulai.
Aku baru saja berpikir untuk
berhenti membayar uang sekolah. Tidak jelas apa yang dibicarakan, aku kesal
sendiri. Aku mengeluarkan headset
dari kantung celanaku dan akan mencolok ke ponselku ketika aku sadar kalau itu
bukan ponselku. Aku hampir berteriak karena kesal. Gadis bodoh.
oi.
Lg pljrn apa ? Bs kluar g?
Tak ada tanggapan.
Gw
tggu di dpn toilet y.
Lagi-lagi diam. Kesal aku
meneleponnya. Malah dimatikan. Kipasi aku sedikit dan aku akan menjadi sate
manusia. Huah!
Merasa akan meledak aku nekat keluar
diam-diam ketika guru itu sedang berjalan menuju mejanya. Pintu yang sudah
terbuka sangat membantu. Aku menghirup nafas kebebasan dalam-dalam. Di lapangan
aku memperhatikan seorang anak berlari-lari. Peluhnya hampir menenggelamkan
lapangan sekolah setelah 10 lap. Dia naik menghampiri guru yang kuduga
menghukumnya. Aku bersembunyi. Merasa kurang dengan hukuman 10 kali putaran
lapangan basket, guru itu menambahkan 20 kali skotjump. Aku yakin kesalahannya
berat melihat hukuman yang diberikan.
Seusai skotjump, guru itu tampak
mengoceh sedikit. Gadis itu tampak meminta maaf sambil berterimakasih.
Entahlah, tak ada yang bisa kudengar dari sini. Lalu guru itu menyerahkan..
ponsel ? Itu ponsel ku! Gadis itu tidak kembali masuk ke kelas. Ia duduk di
luar tanpa melakukan apa-apa. Keringat menetes satu-satu tanpa dia peduli. Aku
kembali menelepon ponsel ku. Gadis itu melihat ponselku tanpa berminat
menjawabnya. Menyadari aku di depannya akhirnya dia berdiri juga. Aku bertolak
pinggang.
“Kenapa sms gw ga dibales ? Telpon
dimatiin lagi.” Dia menarik tanganku dan meletakkan ponselku di telapak
tanganku tanpa bersuara.
“Jawab dong! Lo bisu ya ?”
“Ngga kok.”
Omelan yang baru akan ku mulai terputus
oleh sesuatu yang masuk ke mulutku. Gadis itu menyumpalku dengan sebuah Chupa
Chups lalu membuka satu yang lain untuk dirinya sendiri.
“Misi,” lalu membalikkan badan. Seakan
tidak ada apapun dan siapapun, dia melangkah.
**
“Tadi ponselnya berbunyi nyaring di kelas.
Apa kamu tahu ringtone nya apa ? Mimpi Manis nya Dewi Persik! Nanti saya mau
tanya ah, dia punya lagu Dewi Persik yang mana lagi, hahaha.”
“Hahaha. Trus bukan harusnya di sita
pak ?”
“Iya, tapi dia minta jangan di sita,
gantinya hukuman fisik aja. Ya sudah, karena sama-sama penggemar Dewi Persik
saya izinkan. Eh, kamu juga suka Dewi Persik kan ?”
“Iya pak. Oke makasih ya pak,”
Semuanya jelas sekarang. Aku yang salah mengambil ponsel itu, aku yang lupa men-silent, aku yang sms dan telepon. Sempurna.
**
“Rumah
lo deket sini?”
(to be continue)