Selasa, 13 Desember 2011

Lilin Hitam


 (Ini adalah cerpen yang sempat ku kirim ke redaksi majalah. Tidak ada yang ku dapat. Batas waktu sudah kadaluarsa. Jadi kuputuskan untuk di bagikan saja di sini. Dari pada segalanya sia-sia. Ini memang bukan cerita yang bisa dikategorikan baik, karena sebagai penulis aku sadar akan banyak kekurangan. Untuk kemajuanku akan sangat di terima kritik yang diberikan dengan tangan terbuka. Terimakasih!)         
           
            “Pagi, kak!” sapa Viny riang.
            “Pagi, cantik.” Balasku tak kalah riang. Apalagi dia adik kelas favoritku. Sementara yang duduk 1 meter jaraknya dari Viny hanya menoleh sedikit melihat subjek sapaan Viny. Sadar aku kakak kelas, ia segera melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Viny. Bedanya, tanpa nada yang jelas.
            “Pagi.” Yang disapa senyam-senyum ga jelas ngeliatin cewek yang ga ada semangat idup tadi. Selesai nyapa dia cuma duduk di tempat yang tadi dengan posisi yang sama persis sambil baca buku.  Freak.
            Bel tanda masuk berbunyi. Anak itu bangun dan melangkah masuk kelasnya. Terlalu sibuknya dia dengan barang-barangnya sampai Ia melupakan bukunya. Aku baru akan memanggilnya ketika dia sudah tidak kelihatan. Aku melihat sekilas isi bukunya.
Ada sebuah pembatas buku berbentuk lilin. Atau mungkin lebih tepatnya bayanyan lilin, karena sekujur tubuhnya hanya bewarna hitam. Isinya ditulis tangan. “Kembalikan bukuku, pencuri!” eh salah, “Kembalikan hatiku, pencuri!”. Untung aku belum pingsan karena terkejut. Nanti saja kukembalikan.
            PKn benar-benar pelajaran yang sangat membosankan. Mencari perhatian lain, aku kembali memperhatikan pembatas buku milik anak tadi. Bayangan lilin ? Apa maksudnya itu ? Aku merasakan sekujur tubuhku merinding. Kata-katanya terlalu melankolis untuk seorang anak gaya ga jelas itu. Aku ragu dia punya seorang yang disuka. Jika memang iya, tidakkah seharusnya ia lebih menjaga sikapnya. Kira-kira siapa pria yang membuat matanya kelilipan itu, bagaimana suaranya, kata-katanya, dan sikapnya. Aku benar-benar penasaran. Teman sekelasnya ? Kakak kelasnya ?Aku ? Argh.
            Dia sedang makan bakmi. Aku hampir yakin dia kelaparan. Berbeda dengan Viny, yang selalu menyapaku, anak ini antara mengiraku roh halus atau tidak kasat mata. Aku meletakkan bukunya tepat menyenggol mangkuk bakmienya. Tak ada reaksi.
            “Tuh buku lu, tadi ketinggalan.” Jelasku.
            “Makasih.” aku memperhatikannya. Dia cukup peka untuk merasakan tatapan mautku. Meskipun dia tidak mau menginterupsi prosesi makan siangnya, dia menyampaikannya setelah tetes terakhir kuah bakmie habis.
            “Apa ?” tanyanya dengan mulut penuh mie dan bibir yang bersinar-sinar terlumuri minyak. Aku hanya geleng-geleng kepala menghadapi gadis zaman sekarang. Aku mengambil tisu di dekatku dan tanpa kelembutan kusapukan saja tisu itu di mulutnya. Beberapa pasang mata terasa menusuk-nusuk dan dia tampak sedikit terkejut. Aku meninggalkan kantin sambil mempertahankan gayaku yang cool seakan tidak terjadi apa-apa. Tidak tahan karena penasaran, akhirnya aku melirik dia yang sedang menghabiskan minumnya. Ia memiliki gaya yang lebih baik dariku. Aku hampir yakin kalau semua tadi itu hanya mimpi.
            Hari ini suasana hati ku tidak secerah langit pagi. Tadi pagi sih baik, sampai saat aku memakai sepatu. Terlalu semangatnya aku ke sekolah sampai lupa mengikat tali sepatu. Tak pelak aku jatuh terinjak sendiri. Tidak terluka parah, hanya saja emosiku jadi meluap-luap. Bahkan melihat gadis aneh itu saja membuatku kesal. Apalagi tipe ponselnya sama dengan milikku. Tanpa izin aku mengambil dan melihat-lihat isinya sementara pemiliknya entah tidak tahu atau tidak peduli. Aku mendengus kesal lalu meletakkannya kembali. Tak lama bel berbunyi dan aku masih asik dalam lamunanku. Teguran teman menyadarkanku pelajaran pertama akan segera dimulai.
            Aku baru saja berpikir untuk berhenti membayar uang sekolah. Tidak jelas apa yang dibicarakan, aku kesal sendiri. Aku mengeluarkan headset dari kantung celanaku dan akan mencolok ke ponselku ketika aku sadar kalau itu bukan ponselku. Aku hampir berteriak karena kesal. Gadis bodoh.
                oi. Lg pljrn apa ? Bs kluar g?
            Tak ada tanggapan.
                Gw tggu di dpn toilet y.
            Lagi-lagi diam. Kesal aku meneleponnya. Malah dimatikan. Kipasi aku sedikit dan aku akan menjadi sate manusia. Huah!
            Merasa akan meledak aku nekat keluar diam-diam ketika guru itu sedang berjalan menuju mejanya. Pintu yang sudah terbuka sangat membantu. Aku menghirup nafas kebebasan dalam-dalam. Di lapangan aku memperhatikan seorang anak berlari-lari. Peluhnya hampir menenggelamkan lapangan sekolah setelah 10 lap. Dia naik menghampiri guru yang kuduga menghukumnya. Aku bersembunyi. Merasa kurang dengan hukuman 10 kali putaran lapangan basket, guru itu menambahkan 20 kali skotjump. Aku yakin kesalahannya berat melihat hukuman yang diberikan.
            Seusai skotjump, guru itu tampak mengoceh sedikit. Gadis itu tampak meminta maaf sambil berterimakasih. Entahlah, tak ada yang bisa kudengar dari sini. Lalu guru itu menyerahkan.. ponsel ? Itu ponsel ku! Gadis itu tidak kembali masuk ke kelas. Ia duduk di luar tanpa melakukan apa-apa. Keringat menetes satu-satu tanpa dia peduli. Aku kembali menelepon ponsel ku. Gadis itu melihat ponselku tanpa berminat menjawabnya. Menyadari aku di depannya akhirnya dia berdiri juga. Aku bertolak pinggang.
            “Kenapa sms gw ga dibales ? Telpon dimatiin lagi.” Dia menarik tanganku dan meletakkan ponselku di telapak tanganku tanpa bersuara.
            “Jawab dong! Lo bisu ya ?”
            “Ngga kok.”
            Omelan yang baru akan ku mulai terputus oleh sesuatu yang masuk ke mulutku. Gadis itu menyumpalku dengan sebuah Chupa Chups lalu membuka satu yang lain untuk dirinya sendiri.
            “Misi,” lalu membalikkan badan. Seakan tidak ada apapun dan siapapun, dia melangkah.
**
            “Tadi ponselnya berbunyi nyaring di kelas. Apa kamu tahu ringtone nya apa ? Mimpi Manis nya Dewi Persik! Nanti saya mau tanya ah, dia punya lagu Dewi Persik yang mana lagi, hahaha.”
            “Hahaha. Trus bukan harusnya di sita pak ?”
            “Iya, tapi dia minta jangan di sita, gantinya hukuman fisik aja. Ya sudah, karena sama-sama penggemar Dewi Persik saya izinkan. Eh, kamu juga suka Dewi Persik kan ?”
            “Iya pak. Oke makasih ya pak,” Semuanya jelas sekarang. Aku yang salah mengambil ponsel itu, aku yang lupa men-silent, aku yang sms dan telepon. Sempurna.
**
            “Rumah lo deket sini?”

(to be continue)