Rabu, 18 Juli 2012
Hari ini sih tanggal segitu, tapi banyak yang mau gue
ceritain, terutama tentang Re-. Gue emang akhirnya tau universitas tempat Re-
akan menimba ilmunya beberapa tahun ke depan. Lalu kemarin, guru PKn gue
berceloteh panjang lebar dan tanpa gue kira Re- mengambil bagian dalam cerita
guru itu. Re-, memiliki kesulitan finansial dalam beberapa waktu terakhir
karena ayahnya yang sakit. Ia berjuang keras, agamanya juga kuat. Re- bahkan
mencapai kota tempat universitasnya itu dengan bantuan teman-temannya. Hasil
UAN-nya, merupakan ketiga terbaik dari kelas IPA. Sesekolah atau se-DKI gue ga
yakin. Resenya, karena gue mengucapkan sepatah kata pada teman sebangku gue dan
dia ga jelas apa yang gue maksud, gue malah melewati penjelasan guru ekskelusif
tentang Re- dengan menjelaskan perkataan ga jelas gue. Itu bener-bener bodoh.
Sekarang gue sedang dipusingkan dengan masalah uang. Ya,
uang memang ga pantas untuk jadi masalah, tapi ini juga soal hubungan
pertemanan kami. Gue di satu sisi sangat membenci sikap Yul yang sangat sok
tau. Ceritanya, biar ga lama, kami bertiga membeli kaus kaki dan kertas ulangan
bersamaan. Gue dan Yul kertas ulangan dan kaus kaki. Sementara satu lagi kaus
kaki doang. Gue sudah menghitung dari rumah bahwa semuanya cukup. Usai
menghitung, gue menyerahkan uang sejumlah Rp. 22.500 dengan asumsi kaus kaki
seharga 15 ribu dan kertas ulangan seharga 7.500. Ternyata kaus kaki harganya
14 ribu dan kertas ulangan harganya 8 ribu. Otomatis gue harus menerima kembali
500 rupiah gue. Bukannya di kasih tuh gopek, sama Yul gue malah di tuduh hanya
menyerahkan uang 7 atau 8 ribu. Jelas gue bingung dan ga bisa ngomong apa-apa.
Bukannya gue lemah, Yul mengatakannya seakan-akan dia melihat langsung dan tahu
segalanya tanpa memperhitungkan gue sebagai seseorang yang melakukan apa yang
gue lakukan. Harusnya memang yang paling tahu gue. Akhirnya tadi gue sms temen
gue yang satu ini rincian uang yang gue kasih. Gue tau gue ga bakal dapat hak
gue yang berupa uang 500 rupiah itu. Gue sangat ingin bilang bahwa gue sama
sekali ga hutang sama ni anak. Tapi tentu gue juga ga enak terlalu perhitungan.
Seakan-akan gue adalah anak yang sangat pelit. Keluar dari koperasi, teman satu
SMP gue melihat gue yang bengong lalu bertanya. “Kenapa lu? Kaya abis keilangan
uang.” 100! Gue kehilangan uang sebesar 14.000 di pikiran Yul, dan harus
membayar dengan uang yang nyata. Gue berpikir untuk menyembunyikan ini dari
orang tua gue, tapi baru aja gue ceritain semuanya. Lu boleh bongkar otak gue.
Ga pernah terlintas sekalipun buat gue nilep uang temen gue. Itu bener-bener ga
seberapa. Gue sendiri ga kekurangan uang jajan kok. Temen gue ini juga rasanya
jadi rese. Meski itu karena dia ga tau. Gue masih inget banget, ketika hujan
deras tuh anak bilang kalau dia ga ada uang 2ribuan buat bayar angkot. Gue
menawarkan untuk bayarin dia dengan uang 5000an. Gue bilang ke dia, gantinya
besok aja bayarin gue angkot. Jujur aja sampe sekarang gue ga nagih dan ga
ngungkit-ngungkit sama sekali. Maksud gue sih baik ga perhitungan. Tapi ga
cincai sampe 14 ribu juga sih. Gue bukan orang yang dermawan. Gue itu orang
yang pelit. Yul sendiri ga mikir maen nuduh aja. Gue juga ngitung duit gue
kali. Yah kalo ga lu pake nurani dikit dong. Apa iya gue akan membiarkan temen
gue bayarin keperluan sekolah gue? Apa menurut lo gue tipikal orang begitu? Lo
salah. Lo bener-bener ngelukain gue. Dari lama gue sudah sangat menyadari bahwa
meski gue melihat dengan mata kepala gue sendiri, gue pertama-tama akan
mengungkapkannya sebagai pendapat. Karena dari pengalaman, fakta bukanlah
segala yang lo liat. Gue bingung bagaimana Yul bisa sangat yakin dengan apa
yang tidak dia lakukan sendiri. Ini juga ga setengah luput dari perhatian gue,
karena dari pagi gue udah ngitung semua harga dengan keadaan dompet yang memang
udah pas banget. Harusnya ada kembali gopek, gue malah dituduh utang belasan
ribu. Semakin gue nulis, seakan semua salah Yul. Andai gue lebih tegas bilang
bahwa uang yang gue serahkan itu 22.500. Gue udah tegas tapi harus lebih tegas
lagi. Lalu apa gue harus membayar apa yang udah gue bayar seperti orang bodoh?
Gue masih inget sampe sekarang, keadaan dompet gue di pagi hari ini. 4 lembar
uang 5000an, 1 selipan 10.000an, 3 lembar 2000an, dan 1 keping uang lima
ratusan. 8.000 gue gunain buat beli makan di kantin dengan minum temen gue
2000. 2000 buat sumbangan guru gue yang baru melahirkan. 22.500 gue serahin ke
temen gue, lalu temen gue ini mengembalikan 2000 yang tadi pagi ia pinjam. Lalu
Yul meminta 2000an gue 2 lembar yang ia tukar dengan selembar 5000an, sebagai
pembayaran hutang seribunya kemarin. Gue bayar angkot dengan 5000an lalu
dikembalikan supir angkot 3 ribu rupiah. Uang itu gue letakkan di kantong depan
tas gue, dan kini dompet gue kosong. Kurang melarat apa gue. Dengan
memperhitungkan sifat gue yang pelit, harusnya mereka meragukan kesalahan gue
menghitung anggaran belanja dalam dompet gue. Buat Yul, gue sangat menyesali
sikap lu. Sangat.
Kesannya gue sangat matre dengan membahas uang yang ga
seberapa dalam berlembar halaman. Masalah terbesar adalah itu bukan uang gue.
Yang dihilangkan Yul dalam pikirannya bukan uang gue, dan yang menurut Yul
harus gue bayar juga bukan dengan uang gue. Uang orang tua gue. Memikirkan
pengorbanan orang tua gue yang mengalami beberapa perubahan karena kerja keras
itu bikin gue bertekad dalam hati untuk menggunakan uang mereka sebaik-baiknya.
Gue sayang orang tua gue. Dan ga merasa harus membayar yang bukan kesalahan gue
dengan uang mereka. Ini ga adil. Apalagi gue udah membuat mereka kecewa banget
karena gue masuk IPS.
Oh ya, hari pertama masuk sekolah, ternyata anak kelas 10
yang baru mencapai hari terakhirnya di masa orientasi. Seperti tahun lalu,
pentas seni, pembawa acara, nominasi, lagu-lagu semua seperti mengulang tahun
lalu. Ketika gue tampil di atas panggung itu, ketika Re- menjadi pembawa acara,
ketika Re- memenangkan 2 kategori nominasi (terganteng dan tertegas), lagu yang
sama di nyanyikan mantan kelas gue dengan lirik yang beda. Kelas gue yang dulu,
mengubah lirik lagu dengan menyelipkan Re- diantaranya. “Kata orang, ku mirip
kak Re-.. Suara jantan, wanita jatuh pingsan..” begitu penggalannya. Gue rasa
kalian tau lagu apa itu. Oke, kalau ada anak sekolah gue yang melihat ini, saat
itu juga gue sudah teridentifikasi. Siapa Re- dan siapa gue. Semuanya,
sayonara.
Sabtu, 21 Juli 2012
Hari ini gue janjian sama temen satu SMP gue buat ngikut
acara suatu bank berupa nonton Batman terbaru secara premier di salah satu
bioskop di pusat perbelanjaan di daerah Jakarta Pusat yang terbilang besar.
Ortu gue menganggap ini kencan dan gue males untuk mengklarifikasi. Toh mereka
bercanda doang. Memang udah kaya pacaran sih. Temen SMP gue ini cowok dan dia
bersama kakak perempuannya serta pacar kakaknya temen gue ini. Kayak
double date tapi gue cuma temenan sama
nih anak. Hubungan kami tidak mengarah ke sana sama sekali. Dari pihak gue maupun
dia tidak pernah mencoba menggiring kami ke status itu. Dia terlalu asik buat
dijadiin pacar. Dapat dipastikan kalau gue sama sekali tidak memiliki perasaan ‘itu’
ke temen gue, karena sepanjang di mal itu, gue minimal udah 2 kali ngeliat
orang mirip Re-. Setiap orang berambut jabrik pake kacamata. Ada yang lebih
gemuk, ada yang rambutnya aneh, ada yang tangannya berotot, banyak deh bedanya.
Tapi ga gue pungkiri beberapa kali mereka tampak mirip sampe gue ngeliat untuk
kedua kalinya buat memastikan apa itu Re-. Setiap gue melihat mereka untuk
kedua kalinya, dalam hati gue berharap bahwa Re- belum berangkat ke Jogja dan
tepat berada di sana. Tapi memang itu bukan Re-.