Jumat, 27 Juli 2012

26 Juli 2012


Kamis, 26 Juli 2012

Gue ga tau mau nulis apa. Sebenernya waktu awal liburan gue sempat bertekad untuk menulis cerpen setidaknya 1 buah dalam seminggu. Terutama cerpen mini. Sampai 2 minggu usai liburan, hanya 1 yang gue kerjain. Udah gue kirim ke satu majalah perempuan muda lewat e-mail, tapi biasa, ga ada tanggapan. Gue berharap kalaupun akhirnya cerpen mini gue itu sempat di cetak, mereka dapat menginformasikan gue lewat e-mail. Dengan matre gue berharap dapat ongkos nulis itu. Dari pada mereka nyetak nama gue gede-gede. Gue malah bakal ga enak kalau begitu. Harapan gue dengan dapat honor dari nulis kecil itu, gue bisa membeli buku. Bukan menghias wajah atau penampilan, hasilnya pasti akan gue gunakan untuk mengkinclongkan otak. Logikanya, kalau gue bisa beli banyak buku dengan uang hasil keringat gue sendiri, buku yang sudah selesai gue baca kan pasti sisa mayatnya tuh. Buku bekas yang bukan majalah atau koran pasti jauh lebih berharga daripada tas bermerk yang bekas bagi anak-anak di luar sana. Kalo gue jadi anak yang ga bisa sekolah, so pasti buku itu kaya sorga gue. Gue emang butuh tas, tapi jika dengan buku gue bisa bekerja lebih layak, gue bakal mampu membeli tas bermerk yang baru. Tentu ini belum gue realisasikan dengan membagikan buku gue ke anak-anak yang tidak mampu. Mungkin jika gue kaya, gue akan bangun perpustakaan gratis buat anak-anak. Sekalian buat nongkrong sambil baca buku. Ensiklopedia untuk anak-anak, dan novel detektif untuk remaja. Kenapa gue milih begitu, karena waktu anak-anak gue suka baca ensiklopedia dan sekarang gue suka novel detektif. Novel biasa juga suka kok. Keuntungan gue karena rajin membaca ensiklopedia sejak kecil sangat membantu gue dalam berbagai pelajaran selama SD sampai SMP. SMA sih uda ga kepake. Di ensiklopedia memuat istilah asing yang akan membuat kita familiar saat pelajaran IPA. Makanya nilai IPA gue di SD ga merah. Iyalah SD gitu. SMP juga. Terutama biologi. Gatau kenapa waktu SMP gue jago ngapal. Ga kaya sekarang yang lemot banget. Cuma intermeso, bukan ini semua yang terjadi hari ini.

Selasa depan temen deket gue ulangtahun, dan dia barusan cerita bahwa kakaknya menghadiahkannya sebuah Blackberry™. Setelah ia menerima hadiah itu, gue akan jadi satu-satunya anak dari kami ber-7 yang ga pake ponsel dengan merk itu. Gue emang berencana akan memperbaharui ponsel gue, tapi dengan merk yang beda. Samsung atau Sony. Itu baru incaran gue. Bagi gue, android udah paling keren. Gue tau ini melanggar etika penulis ketika gue terkesan memuji yang satu dan meninggalkan yang lain. Tapi ini kan catatan harian gue. Ralat, catatan kapan-kapan.

Sabtu, 21 Juli 2012

After a Long Time



Rabu, 18 Juli 2012

Hari ini sih tanggal segitu, tapi banyak yang mau gue ceritain, terutama tentang Re-. Gue emang akhirnya tau universitas tempat Re- akan menimba ilmunya beberapa tahun ke depan. Lalu kemarin, guru PKn gue berceloteh panjang lebar dan tanpa gue kira Re- mengambil bagian dalam cerita guru itu. Re-, memiliki kesulitan finansial dalam beberapa waktu terakhir karena ayahnya yang sakit. Ia berjuang keras, agamanya juga kuat. Re- bahkan mencapai kota tempat universitasnya itu dengan bantuan teman-temannya. Hasil UAN-nya, merupakan ketiga terbaik dari kelas IPA. Sesekolah atau se-DKI gue ga yakin. Resenya, karena gue mengucapkan sepatah kata pada teman sebangku gue dan dia ga jelas apa yang gue maksud, gue malah melewati penjelasan guru ekskelusif tentang Re- dengan menjelaskan perkataan ga jelas gue. Itu bener-bener bodoh.

Sekarang gue sedang dipusingkan dengan masalah uang. Ya, uang memang ga pantas untuk jadi masalah, tapi ini juga soal hubungan pertemanan kami. Gue di satu sisi sangat membenci sikap Yul yang sangat sok tau. Ceritanya, biar ga lama, kami bertiga membeli kaus kaki dan kertas ulangan bersamaan. Gue dan Yul kertas ulangan dan kaus kaki. Sementara satu lagi kaus kaki doang. Gue sudah menghitung dari rumah bahwa semuanya cukup. Usai menghitung, gue menyerahkan uang sejumlah Rp. 22.500 dengan asumsi kaus kaki seharga 15 ribu dan kertas ulangan seharga 7.500. Ternyata kaus kaki harganya 14 ribu dan kertas ulangan harganya 8 ribu. Otomatis gue harus menerima kembali 500 rupiah gue. Bukannya di kasih tuh gopek, sama Yul gue malah di tuduh hanya menyerahkan uang 7 atau 8 ribu. Jelas gue bingung dan ga bisa ngomong apa-apa. Bukannya gue lemah, Yul mengatakannya seakan-akan dia melihat langsung dan tahu segalanya tanpa memperhitungkan gue sebagai seseorang yang melakukan apa yang gue lakukan. Harusnya memang yang paling tahu gue. Akhirnya tadi gue sms temen gue yang satu ini rincian uang yang gue kasih. Gue tau gue ga bakal dapat hak gue yang berupa uang 500 rupiah itu. Gue sangat ingin bilang bahwa gue sama sekali ga hutang sama ni anak. Tapi tentu gue juga ga enak terlalu perhitungan. Seakan-akan gue adalah anak yang sangat pelit. Keluar dari koperasi, teman satu SMP gue melihat gue yang bengong lalu bertanya. “Kenapa lu? Kaya abis keilangan uang.” 100! Gue kehilangan uang sebesar 14.000 di pikiran Yul, dan harus membayar dengan uang yang nyata. Gue berpikir untuk menyembunyikan ini dari orang tua gue, tapi baru aja gue ceritain semuanya. Lu boleh bongkar otak gue. Ga pernah terlintas sekalipun buat gue nilep uang temen gue. Itu bener-bener ga seberapa. Gue sendiri ga kekurangan uang jajan kok. Temen gue ini juga rasanya jadi rese. Meski itu karena dia ga tau. Gue masih inget banget, ketika hujan deras tuh anak bilang kalau dia ga ada uang 2ribuan buat bayar angkot. Gue menawarkan untuk bayarin dia dengan uang 5000an. Gue bilang ke dia, gantinya besok aja bayarin gue angkot. Jujur aja sampe sekarang gue ga nagih dan ga ngungkit-ngungkit sama sekali. Maksud gue sih baik ga perhitungan. Tapi ga cincai sampe 14 ribu juga sih. Gue bukan orang yang dermawan. Gue itu orang yang pelit. Yul sendiri ga mikir maen nuduh aja. Gue juga ngitung duit gue kali. Yah kalo ga lu pake nurani dikit dong. Apa iya gue akan membiarkan temen gue bayarin keperluan sekolah gue? Apa menurut lo gue tipikal orang begitu? Lo salah. Lo bener-bener ngelukain gue. Dari lama gue sudah sangat menyadari bahwa meski gue melihat dengan mata kepala gue sendiri, gue pertama-tama akan mengungkapkannya sebagai pendapat. Karena dari pengalaman, fakta bukanlah segala yang lo liat. Gue bingung bagaimana Yul bisa sangat yakin dengan apa yang tidak dia lakukan sendiri. Ini juga ga setengah luput dari perhatian gue, karena dari pagi gue udah ngitung semua harga dengan keadaan dompet yang memang udah pas banget. Harusnya ada kembali gopek, gue malah dituduh utang belasan ribu. Semakin gue nulis, seakan semua salah Yul. Andai gue lebih tegas bilang bahwa uang yang gue serahkan itu 22.500. Gue udah tegas tapi harus lebih tegas lagi. Lalu apa gue harus membayar apa yang udah gue bayar seperti orang bodoh? Gue masih inget sampe sekarang, keadaan dompet gue di pagi hari ini. 4 lembar uang 5000an, 1 selipan 10.000an, 3 lembar 2000an, dan 1 keping uang lima ratusan. 8.000 gue gunain buat beli makan di kantin dengan minum temen gue 2000. 2000 buat sumbangan guru gue yang baru melahirkan. 22.500 gue serahin ke temen gue, lalu temen gue ini mengembalikan 2000 yang tadi pagi ia pinjam. Lalu Yul meminta 2000an gue 2 lembar yang ia tukar dengan selembar 5000an, sebagai pembayaran hutang seribunya kemarin. Gue bayar angkot dengan 5000an lalu dikembalikan supir angkot 3 ribu rupiah. Uang itu gue letakkan di kantong depan tas gue, dan kini dompet gue kosong. Kurang melarat apa gue. Dengan memperhitungkan sifat gue yang pelit, harusnya mereka meragukan kesalahan gue menghitung anggaran belanja dalam dompet gue. Buat Yul, gue sangat menyesali sikap lu. Sangat.

Kesannya gue sangat matre dengan membahas uang yang ga seberapa dalam berlembar halaman. Masalah terbesar adalah itu bukan uang gue. Yang dihilangkan Yul dalam pikirannya bukan uang gue, dan yang menurut Yul harus gue bayar juga bukan dengan uang gue. Uang orang tua gue. Memikirkan pengorbanan orang tua gue yang mengalami beberapa perubahan karena kerja keras itu bikin gue bertekad dalam hati untuk menggunakan uang mereka sebaik-baiknya. Gue sayang orang tua gue. Dan ga merasa harus membayar yang bukan kesalahan gue dengan uang mereka. Ini ga adil. Apalagi gue udah membuat mereka kecewa banget karena gue masuk IPS.

Oh ya, hari pertama masuk sekolah, ternyata anak kelas 10 yang baru mencapai hari terakhirnya di masa orientasi. Seperti tahun lalu, pentas seni, pembawa acara, nominasi, lagu-lagu semua seperti mengulang tahun lalu. Ketika gue tampil di atas panggung itu, ketika Re- menjadi pembawa acara, ketika Re- memenangkan 2 kategori nominasi (terganteng dan tertegas), lagu yang sama di nyanyikan mantan kelas gue dengan lirik yang beda. Kelas gue yang dulu, mengubah lirik lagu dengan menyelipkan Re- diantaranya. “Kata orang, ku mirip kak Re-.. Suara jantan, wanita jatuh pingsan..” begitu penggalannya. Gue rasa kalian tau lagu apa itu. Oke, kalau ada anak sekolah gue yang melihat ini, saat itu juga gue sudah teridentifikasi. Siapa Re- dan siapa gue. Semuanya, sayonara.

Sabtu, 21 Juli 2012

Hari ini gue janjian sama temen satu SMP gue buat ngikut acara suatu bank berupa nonton Batman terbaru secara premier di salah satu bioskop di pusat perbelanjaan di daerah Jakarta Pusat yang terbilang besar. Ortu gue menganggap ini kencan dan gue males untuk mengklarifikasi. Toh mereka bercanda doang. Memang udah kaya pacaran sih. Temen SMP gue ini cowok dan dia bersama kakak perempuannya serta pacar kakaknya temen gue ini. Kayak double date tapi gue cuma temenan sama nih anak. Hubungan kami tidak mengarah ke sana sama sekali. Dari pihak gue maupun dia tidak pernah mencoba menggiring kami ke status itu. Dia terlalu asik buat dijadiin pacar. Dapat dipastikan kalau gue sama sekali tidak memiliki perasaan ‘itu’ ke temen gue, karena sepanjang di mal itu, gue minimal udah 2 kali ngeliat orang mirip Re-. Setiap orang berambut jabrik pake kacamata. Ada yang lebih gemuk, ada yang rambutnya aneh, ada yang tangannya berotot, banyak deh bedanya. Tapi ga gue pungkiri beberapa kali mereka tampak mirip sampe gue ngeliat untuk kedua kalinya buat memastikan apa itu Re-. Setiap gue melihat mereka untuk kedua kalinya, dalam hati gue berharap bahwa Re- belum berangkat ke Jogja dan tepat berada di sana. Tapi memang itu bukan Re-.