Senin, 14 Januari 2013
Temen gue yang satu, udah rampung 1 cerita. Malah udah di
kirim pula. Dengan sangat congkak gue meragukan keberhasilannya. Karena
mempertimbangkan gue yang udah latian nulis kaya gini setahun lebih aja masih
belum mencapai standar mereka. Gue lagi menganginkan diri nih, menghibur takut
akan dikalahkan. Gue kan cupu men.
Gue emang harusnya ngasih tau, tapi karena pembawaan gue
yang kurang pas gue bakalan di godain dengan maksud negatif bahwa gue
menggurui. Sebenernya mereka butuh nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat
agar punya nilai yang bisa diperjuangkan. Kalo lo mo bikin novel, terserah tuh
isinya cuma nilai-nilai asmara yang berhubungan dengan sosial. Tapi lewat
pengalaman sempit gue, gue belajar bahwa yang di cari oleh redaksi majalah
adalah cerita sarat dengan nilai-norma sosial, yang sukur-sukur ada asmaranya.
Sabtu, 19 Januari 2013
Gue bener-bener heran. Sedikit nguping dari meja makan tadi
di pusat perbelanjaan di kawasan Jakarta Barat, gue dengerin beberapa patah
pembicaraan 2 muda mudi ini. Si cewek lagi ngomongin tentang internet, raja
jejaring sosial si facebook dan twitter. Katanya, “Gue udah ga sering neror
lagi kok. Sekarang gue uda jarang liat-liatin wall orang lain…” aneh. Setau gue
sih lebih tepat kata di garis bawah itu di subsitusikan dengan kata nguntit.
Bahasa kerennya stalking. Neror
itu..kesannya criminal. Di terror oleh kesalahan di masa lalu misalnya. Mimpi
buruk, orang jahat, dan yang lainnya.
Masih soal penggunaan bahasa, seorang tokoh yang mau jadi
calon presiden nih. Kalo gue sebut kalian pasti tau siapa. Gue ga bawa bendera
politik apa-apa kok. Gue cuma mau ngomentari tata bahasa yang digunakan tokoh
masyarakat ini. Gue sorot karena dia ngaku-ngaku mampu memimpin Negara ini
secara sempurna. Dia itu nulis tweet ga pake tanda baca. Karena jadi ga jelas
maksudnya apa, gue sangat meragukan kemampuan dia memimpin Negara. Okelah kalo
urusan tata Negara ga ada hubungannya sama penggunaan tanda baca. Tapi ini
bahasa Negara, bung. Perhatikan dong tanda baca. Meskipun lewat media internet
yang informal. Ini kan di baca setiap orang yang mau baca. Balik ke hal tadi.
Sekalipun urusan mengkoordinasi pemerintahan ga ngaruh ke penggunaan tanda
baca, dia menjatuhkan harga diri pemimpin Indonesia. Ternyata pemimpin
Indonesia ga bisa pelajaran bahasa Indonesia tingkat SD. Kalo emang terjadi dia
bakalan mengusung diri jadi capres independen, gue akan nekat kirim e-mail ke
opini Kompas atau Metro tv, atau mungkin nelpon sambungan interaktir Suara Anda
di Metro TV. Gue bakal semprot sisi ini abis-abisan. Gue akan ngasih contoh
diri gue. Gue kehilangan motivasi belajar bahasa Indonesia kalau pemimpinnya ga
bisa gunain tanda baca. Terlepas dari siapa kawan dan lawannya, suku, ras,
warna partai, dan hal politik yang ga gue ngerti lainnya. Gue akan nyebut kalau
sampe Si orang ini jadi presiden, gue ga bakal mau belajar Bahasa Indonesia
lagi, dan mengajukan usul kalo pelajaran bahasa Indonesia di tiadakan aja
sebagai bentuk solidaritas terhadap presiden. Presidennya ga bisa bahasa
Indonesia kok, siswa disuruh belajar. Kasian nanti presidennya jadi kalah
pinter kan. Hem, kayanya ini bakal jadi inspirasi gue ke cerpen selanjutnya.
Selasa, 22 Januari 2013
Tadi di jalan lagi ngomongin Lee yang PHP mutlak. Trus dia
nanya, ‘Kalo lo misalnya nih, misalnya. Suka sama dia trus dia PHP-in lo gitu,
lo gimana?’ dengan diplomatis gue jawab, ‘Gue ga bakalan suka sama dia si.’
Hahaha! Trus Yul nanya, ‘Lah yang itu?’ ‘Itu mah bukan PHP, kenal aja ga.’ ‘lo
masih suka sama yang itu ya?’ kemudian dengan diplomatis lagi gue jawab, ‘yaa
tergantung suka yang gimana. Tapi kalo dia dateng ke Jakarta dan ada di depan
mata gue, gue pasti melototin dia.’ Kemudian seolah kuisioner ia merocos gue
dengan beberapa pertanyaan dalam bentuk kondisi. ‘Kalo misalnya tiba-tiba dia
whatsapp lo?’ ‘Ga mungkin lah. Kan ga kenal.’ ‘Yaah misalnyaa.’ ‘Mustahil Yul’
‘Ga ada yang mustahil.’ Oke gue nyerah dan jawab gini, ‘Yaa gue bales lah’
‘Trus jadi sering whatsappan.’ muka gue pasti uda merah akibat efek euphoria.
‘Kalo hpnya mo ngecas bakal lo tinggal?’ ‘Ya enggak lah~’ Yul nanya gini dalam
konteks ketika gue ceritain tentang Lee sebelumnya, di akhir cerita gue bilang
gue tinggal dia ngecas dari sore sampe besoknya. Hahaha. Trus Yul nyimpulkan
kalo gue masih suka sama Re-. Rasanya iya deh. Buktinya gue masih buka file ini
dengan password nama Re- dan nulis segala hal tentang Re-. Re- itu obsesi gue
kayanya. Re- Re- Re-. Re- mantan bendahara OSIS 2011-2012, Re- yang punya
mantan seorang penulis dengan followers 3.000an, Re- yang jadi devil di kelas 10 C, Re- yang ceramah di
depan kelas gue pada hari ketiga MOS.
Jumat, 25 Januari 2013
Ada yang mungkin bisa gue ceritain, tapi gue lagi males. Gue
lagi pengen mengingat semua karakter cowok yang bikin gue terpesona dalam drama
Korea. Ini karena gue baru nonton drama The King Of Drama yang juga dibintangi
actor dan anggota grup papan atas Super Junior. Memang ga bisa dipungkiri
karakter Siwon menarik di drama ini. Tapi memang beda tipe dengan pemeran pria
utamanya. Pria dewasa yang memiliki arti ‘dingin’ yang kental dan sesekali
menunjukkan sisi mellow-nya. Suaranya yang berat buat gue sadar kalau dia patut
diperhatikan. Cara-cara dia menghadapi masalah, kepercayaan diri yang luar
biasa, dan otaknya yang berkapasitas patut diacungi jempol. Gue terpesona lagi
dengan karakter ‘bapak-bapak’. Ini bukan pertama kalinya, tapi ketika gue nyoba
nyebutin semua karakter yang mampu membuat gue kembali seperti ini gue lupa.
Gue akan tulis satu persatu?
1.
The King of Drama
2.
Gentleman’s dignity (ini termasuk plot yang
bikin gue melenyes)
3.
Soal performance excluded character, ada Kang
Minho dari 49 Days menyusul. Di drama ini, Bae Soobin keren, pake banget.
4.
Yah lupa semua. Oke sampe di sini dulu.
Ngomong-ngomong soal 49 Days, banyak orang mengkritik ending
yang sedih di drama ini. Baru-baru ini tanpa sadar gue menyatakan statement
yang mewakili akhir cerita drama 49 Days. Gue mengatakannya dalam kalimat
‘hidup tanpa kenangan itu sama aja mati’. Lalu gue sadar sendiri kalo ini yang
di maksud penulis akhir cerita drama itu. Ji Hyun tokoh utama memilih mati
minggu depan dari pada hidup lama tapi lupa semuanya, bahkan perasaannya.
Memang kelihatan bodoh dan egois, tapi buat apa masa depan tanpa sejarah?
Sebelumnya gue mengacungkan satu jempol karena merasa akhirnya keren. Tapi
setelah gue mengerti dengan cara gue sendiri, gue acungkan 2 jempol deh. Thanks
for 49 Days’s author especially who wrote the ending. You just gave me a great
understanding. God Bless You! J