Sabtu, 12 Januari 2013

Sahabat itu Ga Ada




Selasa, 8 Januari 2013

Binus macet (lagi). Gue bertiga di angkutan kota biru muda itu menanti mobil melaju. Lalu temen gue ngeliat seorang alumni sekolah yang nama belakangnya sama dengan nama pelawak kontroversial yang kini uda tajir banget di tambahin ‘B’ di depannya. Lalu temen gue ini dengan bodohnya nanya ke gue. ‘Dia itu B****nya Re- ya?’ kontan gue bingung. Cengo karena abis denger nama Re- dan pertanyaannya yang ga biasa. Yul mengiyakannya. Maksudnya anak itu angkatannya Re-. Kemudian pembicaraan sampai ke Re- dan tentu saja gue. Yul salah mengeja nama depan Re- dan gue koreksi. Yul bilang ‘kok lo bisa suka si sama dia?’ bukan berarti gue harus cerita ke dia saat itu juga kan. Gue senyam-senyum aja. Trus dia menyimpulkan sendiri ‘(nama gue) ini tipe orang yang suka sama cowo bandel tiba-tiba’. Lah gue kaget dia bilang cowo bandel. Dia jawab pertanyaan gue dengan bilang ‘iya kan, katanya pak (guru PKn) kan dia bandel’. Woah. Re-. Kakak bandel? Beneran kakak bandel? x3

Oh iya, gue rada males nulis di aplikasi di ponsel gue itu. Akhirnya gue balik ke sini lagi.

Kamis, 10 Januari 2013

Tadi ada pelajaran Bahasa Indonesia, dibagiin contoh tulisan penelitian dari angkatan 2 tahun di atas gue yang berarti tempat Re-. Memang, gue dapet bagian anak IPA. Sedihnya, dari 5 anggota penulisnya itu 3 orang dari OSIS. 2 cewe itu yang paling cantik dan lumayan deket sama Re- sih setau gue. Apalagi yang katanya turunan ningrat itu. 1 cowonya adalah temen deket Re-, sekali lagi setau gue. Soalnya dari apa yang kasat mata mereka itu nempel. Temen main lah. Entah deh di kelas gue ada yang dapet tulisan Re- apa nggak. Kalo ada yang dapet dan gue tau siapa dia, saat itu juga gue bakal ngaku ke tulisan ini kalau gue iri banget.
 
Oh iya, tadi di umumin ama gurunya, kalau nilai Bahasa Indonesia gue di rapor di tambahin 5 poin. Yah sekaligus menyatakan bahwa ranking 7 itu palsu. Mungkin aslinya gue cuma ranking 11. Gue masuk 10 besar berkat tembusnya cerpen gue ke majalah. Seketika, 2 temen cewe sekelas gue berkoar-koar pingin bikin cerpen trus di kirim ke majalah, dengan harapan bernasib kaya gue. Gue emang rada sombong kalau gue ngomong gini. Tapi karena tulisan ini ga ada yang baca, jadi gue sampaikan saja ya. Mereka itu tipe-tipe yang suka novel liat dari kualitas kertas, dan fanatismenya ke Negara Korea. Oke, gue juga fanatik. Tapi gue kapok setelah beli novel karangan lokal yang berlatar belakang negeri ginseng itu yang kualitasnya oke menurut gue keitung. Beberapa pengarang terkenal memang punya modal yang cukup untuk menyampaikan cerita, tapi gue mengutip satu pendapat orang sastra Indonesia yang lumayan terkemuka. Bahwa cerita seseorang itu kadang cuma pembelaan penulisnya. Saking mereka terobsesi untuk dicintai balik pihak Korea, mereka bikin novel yang tokoh utama cewenya orang Indonesia dan cowonya orang Korea. Gue sangaaatttt bosan. Balik lagi, gue juga jleb sih ke kata-kata dia. Gue bikin cerita dengan karakter yang gue selipin dengan salah satu ‘gue’ trus tokoh itu hidup bahagia. Kan itu namanya gue berharap bahkan di ceritapun gue bahagia. Kalau gue punya pendukung. Gue cuma ngehibur diri gue sendiri.

 Sabtu, 12 Januari 2013

Sebenernya gue punya cerita mengenai teman-teman gue. Dari gue sih konotasi negatif ya. Tapi kelakuan mereka itu klop banget sama gue. Sama-sama jadi duri. Akhirnya kami semua sakit.

Bukannya gue ga mau cerita, tapi saking rumitnya gue sampe bingung sendiri. Soal perasaan yang sempet berkecamuk? Kecewa, yang paling dominan.

Mereka nyadarin ke gue kalo sahabat itu ga ada. Mereka itu teman bermain. Teman sepermainan. Teman bicara, teman ngobrol. Dan memang ga ada orang yang rela waktunya di buang demi cerita luapan lo yang isinya di ramaikan oleh nilai diri. Ironis.