Sabtu, 30 Juni 2012

Mimpi (lagi)



Kamis, 21 Juni 2012

Semalem gue mimpi! Bukan tentang Re-. Ini tentang Oni.

Mimpinya panjang, dan cerita awalnya ga bisa gue ceritain, karena kapayahan otak gue. Pokoknya suasana kelas baru itu seperti pertokoan di Mangga Dua, cuma ini sederet paling 2 toko. Gue pergi ke tempat lain dulu karena kaget setelah melihat adik temen gue yang masih kecil merokok. Gue pergi ke satu anak dan parahnya gue lupa siapa dia. Balik-balik gue sadar gue uda telat di hari pertama gue sekolah. Melihat ke satu kelas, itu guru BI gue kelas 10. Oh, pelajaran pertama gue olah raga. Gue ke kelas sebelahnya. Gue mencari-cari, lalu Oni keluar dan memberikan secarik kertas kecil. Gue mengetahui itu sebagai tugas pertama yang harus di lakukan. Menggambar beberapa orang yang di tentukan. Gue tahu tugas itu bener-bener ga ada hubungannya sama olah raga, tapi itulah kenyataannya. Eh, mimpinya. Balik ke mimpi gue, gue menerima kertas pekerjaan Oni dengan terisak lalu menangis keras karena terharu. Karena sedih bahwa gue ga akan melihat dia lagi dalam keseharian di sekolah. Gue ga bisa diskusi soal fisika lagi. Gue ga bakal di ikutin dia lagi ke toilet. Ga akan ada yang mengetuk-ngetuk pintu kabis toilet saat gue di dalamnya. Ga ada lagi anak yang mengenalkan gue pada lagu barat yang sedang nge-trend. Gue bener-bener ga boong. Beberapa hari setelah ia mengenalkan gue pada satu lagu, temen-temen sekelas akan beramai-ramai menyanyikannya, TV juga memutarkan pada siarannya. Ga ada lagi wanita yang bersuara paling keras di kelas. Ga ada lagi anak yang mampu menghadapi kemarahan kakak kelas. Anak itu, Oni. Setahun bersama gue yakin gue akan merasa kehilangan. Dia yang membantu gue bergaul. Dia yang sempat gue iri-in karena lebih dekat dengan anak-anak sekelas. Bahkan gue sempet berpikir bahwa Tha, seorang yang dulu pernah gue sebut-sebut yang akhir-akhir ini bersikap baik padaku itu adalah pintaan Oni. Tha yang merasa aneh dengan perilaku gue lalu di jawab Oni dengan membela gue habis-habisan. Bahkan menyarankan gue untuk bersikap baik pertama terhadap gue. Atau Oni menyadari rasa iri gue saat dia bersama Tha lalu dengan sesuatu yang tidak gue duga Tha beralih ke gue. Well, itu cuma bayangan gue. Tapi memang mencurigakan sih, soal Tha yang ramah itu.

Oni yang merendahkan dirinya, menghadapi gue yang sering sensitif ga ketulungan. Marah pada hal-hal kecil, ngambek pada suatu yang sepele. Egois, pemarah, selalu mau menang sendiri itulah gue. Tepatnya gue terhadap Oni. Banyak hal yang gue sesali telah melakukannya kepada Oni. Tapi bahkan rasanya terlalu drama buat gue bilang hal-hal semacam itu pada Oni. Gue mengakui gue banyak melakukan kesalahan. Banyak melakukan yang tidak seharusnya gue lakukan, kepada teman yang baik buat gue. Ini terlalu cepat buat perpisahan. Gue bahkan ga bisa menebusnya dengan melakukan hal-hal yang baik kepadanya setahun kedepan. Gue mungkin pernah menyesal telah memberitahukan soal Re- kepada Oni, dan bahkan mengatakan kepadanya bahwa aku melakukannya dengan terpaksa. Oke, gue jahaatttt banget. Gue sama sekali ga menganggap dia teman terdekat. Meski begitu, dari antara semua teman gue yang lain, hanya dengan Oni gue mampu memuji-muji Re- secara nyata. Bukan hanya lewat tulisan semata yang ga di baca siapapun. Bahwa Re- itu keren, kayanya dia yang pertama denger dari mulut gue. Kalo mulut gue ga terlalu rancu dan ga merasa ini terlalu lesbian, gue mau bilang ke Oni bahwa berbahagialah karena dia yang pertama tahu bahwa gue menyukai Re-, selain Tuhan, gue, dan otak gue sendiri. Mungkin bagi lo ini ga berarti. Tapi kalau nanti gue menyukai seseorang lagi, apa lo mau tau lagi? Kata sebuah drama Korea yang lumayan anyar, kenangan adalah sebuah media bersama orang yang kita inginkan. Apabila kenangan itu tidak ada, kita tidak akan bersama dengannya selamanya. Gue ga tau apa yang akan Oni lakukan terhadap kenangan gue dengannya. Mungkin baginya ini pahit dan ga pantas di kenang. Dia hanya mengenang kelas 10 tanpa gue. Tapi bagi gue, setahun itu waktu yang cukup banget, buat gue sayang sama lo. Lo udah hampir nyaingin Re- dengan membuat gue menulis tentang lo satu setengah halaman a4. Meski temen-temen sering merespon negatif tentang lo, gue tetep sayang sama lo. Sama dengan Jae. Gue hanya tidak suka dengan cara gue. Jalan gue. Bukan lewat gosip yang beredar tentang lo, tapi dengan pengalaman gue. Tapi ketidak sukaan gue bukan berarti gue membenci kalian. Kalian teman terbaik gue di kelas 10. Kalian nyambung saat becanda dengan gue. Menemani gue di sudut kelas. Tentu ini cuma diksi, karena pada kenyataannya sudut kelas adalah tempat anak eksis.

Senin, 25 Juni 2012

Semalem gue mimpi lagi. Gue sendiri merasa bahwa gue tukang mimpi. Entah sengaja maupun tidak.

Di sebuah tempat yang menurut gue sekolah, karena kami mengenakan seragam, tapi suasanannya bukan di sekolah gue sekarang. Seperti biasa, gue berjalan bersama Oni di samping gue. Lalu di depan kami berdiri Re- dengan teman-temannya. Anehnya, di sana Re- sangat pendek sampai lebih pendek dari gue. Ini bener-bener salah. Lanjut, di ujung jalan gue berhenti sebentar, berharap Re- berjalan melewati gue. Tapi karena Re- ga lewat-lewat, gue putuskan untuk melanjutkan berjalan. Sepertinya ia tengah mengurus ijazahnya, begitu pikir gue di sana. Gue naik ke atas, ke ruangan yang gue tuju. Gue ga yakin itu kelas karena lapangan olah raga sampai toilet ada di sana. Lebih mengejutkan lagi, Re- udah duduk di sana. Entah gimana, gue akhirnya duduk di deket Re-. Gue minum air mineral dengan mengangkat botolnya tinggi-tinggi. Sampai di suatu topik Re- bicara, gue tanpa menurunkan botol itu dari ketinggiannya melirik Re- dari atas. Kejadian itu berlangsung 2 kali. Lalu mereka beserta gue pindah ke tempat lain. Tentu di sana gue bukan yang tidak mengenal siapa-siapa. Ada seorang teman di samping gue meski gue ga tau siapa. Atau gue merasa tidak asing di sana. Hal yang sama kembali terjadi. Kayanya maksud gue begitu karena gue cuma mau lihat dia deh. Tapi Re- malah marah. Tiba-tiba Re- duduk di tempat seperti meja guru dan duduk di sana tanpa melakukan apa-apa. Pokoknya Re- marah. Teman dekat Re-, sebut saja putih menyuarakan ketidaksetujuannya atas sikap gue. Mendapatkan segala tekanan, gue merasakan sedih. Tiba-tiba di kenal oleh pujaan dengan cara yang tidak baik. Citra gue juga buruk banget. Gue menatap Re- yang duduk di meja guru tersebut. Gue merasakan dorongan untuk meminta maaf langsung kepadanya, tapi tentu keberanian itu tidak ada. Gue galau sendiri menunggu waktu yang tepat ketika keberanian itu datang. Tapi sebelum saat itu datang, gue keburu bangun.

Gue ga terlalu semangat dengan mimpi ini. Entah. Apa gue sudah mengubur Re- tanpa gue sadari?

Jumat, 15 Juni 2012

IPA? IPS?



Jumat, 8 Juni 2012

Karena ga ada makanan di rumah, kami sekeluarga berangkat ke tempat perbelanjaan terdekat. Untuk mencari makan. Di lobi, terdapat pameran perhiasan. Terkagum sebentar, ibu gue menyebut nama Re-. Gue rada terkejut. Ternyata itu nama satu merek perhiasan. Gue nanya, apa toko itu terkenal, atau perhiasannya bagus-bagus. Ibu gue cuma bilang bukan apa-apa. Gue mengajukan pendapat bahwa ia berkata begitu karena stand merek itu berdiri di depan toko yang sebenarnya. Ibu gue mengiyakan. Jadilah gue manfaatkan kesempatan itu dengan sangat maksimal untuk melafalkan nama Re- secara nyata dan agak lebai. Masalahnya selama ini gue ga enak nyebut nama itu secara gamblang di sekolah maupun dengan temen gue. Buat nyebut nama itu berulang-ulang sendirian juga rasanya aneh. Jadi lidah gue sangat puas rasanya. Re- Re- Re-.

Minggu, 10 Juni 2012

Semalem, gue mimpiin Re-.

Entah kenapa gue mimpi banyak banget. 3 hal. Atau 3 mimpi itu tiba-tiba teringat. Gue juga ga ngerti.

Satu. Gue menonton drama musikal dari sekolah yang pernah gue minati untuk menulis script-nya. Meski pada akhirnya gue batal berpartisipasi dalam penulisan. Di mimpi itu gue nonton, di tempat yang aneh. Rada goyang kaya mau jatuh. Serem ya.

Dua. Gue mimpiin seseorang yang mirip Yul. Di sana ia menjadi orang yang sangat sombong. Ia punya seruangan besar berisi wardrobe dan ia sangat bangga akan hal itu.

Tiga. Gue merasa mimpi ini yang pertama, tapi karena ini adalah yang terpenting menurut gue, gue tulis di bagian akhir. Walau hanya satu scene. Entah bagaimana ceritanya, Re- menggoda gue sekali waktu. Menjahili gitu loh. Lalu seperti respon kebanyakan, gue cuma bilang ‘apa sih’ gitu. Sementara temen-temen gue udah pada nyorakin gue ‘cie cie’. Sebuah keadaan yang bener-bener ga bisa di bilang masa depan. Lead pernah bercerita bahwa dulu ia sempat bermimpi ia berada di sebuah sekolah berisi siswa-siswa yang tidak ia kenal. Sampai waktunya ia masuk SMA, ia sadar bahwa yang ia mimpikan waktu itu adalah teman-teman kelasnya yang baru ia kenal. Gue sama sekali ga punya kemampuan, dan terlalu jauh dari kenyataan. Gue ga kenal Re- secara resmi.

Mungkin terbersit pertanyaan. Mengapa tulisan gue isinya ga jauh-jauh dari mimpi? Sepertinya karena gue ga bisa memiliki kenyataan yang gue inginkan. Gue mencoba memilikinya lewat mimpi.

Gue kadang mengagumi seorang penulis cerita. Terutama film. Cerita itu sendiri dibuat dari segala kemungkinan yang muncul di otak penulisnya. ‘What if’ itu kata kuncinya. Penulis cerita memikirkan segala yang bisa saja terjadi. Jika bumi ini tidak mampu membuatnya nyata, ia membuat bumi baru yang memungkinkan segala yang terjadi dalam pikirannya. Menjadi ‘tuhan’ bagi fiksinya. Menentukan nasib tokoh-tokohnya. Membuat segala alur hingga tampak seperti yang seharusnya terjadi. Merancang setiap detil dunianya.

Jumat, 15 Juni 2012

Hari ini gue bagi rapot. Sekaligus penyaringan IPA dan IPS. Mungkin ga banyak yang terjadi. Tapi rasanya ini kaya mimpi. Gue beberapa kali bengong, ga yakin akan kenyataan.

Gue berangkat tanpa rasa takut. Gue merasa semuanya sama seperti yang terjadi sejak SD. Di takutin lah, tapi akhirnya gue naek dengan aman. Tapi gue gentar, mulai masuk wilayah sekolah. Gue nulis catetan di luar kelas, menyatakan bahwa gue di antrian ke 23. 2 anak kelas gue, salah satunya Lee menghampiri gue. Mereka ribut menyatakan bahwa kelas kami meninggalkan 5 anak di kelas 10. Mau ga mau gue gemeteran, pasalnya gue yang ke 23 dari 28. Pikiran gue yang sempit menyatakan bahwa dari sisa itu 5 di antaranya tinggal kelas. Gue melewatkan bahwa yang tinggal kelas sudah di telepon hari sebelumnya. Mereka terus menyebutkan nama Oni sebagai salah satunya. Gue sih ga percaya abis kalo Oni sampe salah satu di antara 5 anak itu.

Masuk-masuk, gue di tenangkan dengan pernyataan bahwa gue naik. Lalu wali kelas gue menyerahkan keputusan IPA atau IPS ke tangan gue. Ya, beliau membebaskan gue memilih sementara yang lain hanya tinggal menerima. Selingan aja, temen gue yang di kelas sebelah dari awal memilih IPA sebagai jurusannya. Tapi keputusannya ia harus masuk IPS. Bahkan ia sudah meminta kepada wali kelas untuk pertolongan. Tapi nihil. Di sisi lain gue boleh memilih. Gue merasa terlalu di istimewakan. Gue mengkakhiri dengan IPS. Kakak dan nyokap gue terus membujuk gue untuk membatalkan dan memilih IPA. Mereka bilang, bila gue milih IPS gue bakal nyesel. Gue emang ga terlalu suka pelajaran IPS, tapi bukan berarti IPA lebih baik. Gue sendiri menyimpulkan alasan wali kelas gue menyerahkan keputusan ke tangan gue adalah karena nilai gue standart semua. Gue tidak memiliki berat di IPS atau IPA. Menjadi penolakan besat gue masuk IPA adalah karena gue merasa ga kuat. Mungkin guru dan keluarga gue merasa gue mampu untuk mengerti semuanya. Berdasarkan nilai, gue sih ga terlalu kurang. Yang jadi protes besar gue adalah nilai itu palsu. Dongkrakan abis. Biologi gue, dari awal gue masuk sekolah ini, nilainya ga pernah lebih dari 70, yang adalah KKM(tau kan singkatannya). Itupun ga semuanya dapet 70, sisanya ada yang 65, 50, dan yang terakhir mencapai 33. Nilai kimia gue sempat hancur di semester pertama, meski di semester 2 gue mengalami banyak sekali peningkatan. Bukan karena gue semakin mengerti atau rajin belajar. Kepala sekolah bahkan mengakui meski tidak menyebut merek, bahwa guru kimia sudah menurunkan standart penilaian. Maksudnya soal ulangan. Gue sangat merasa tingkat kesusahan soal Kimia jauh menurun dari semester 1. Bukannya gue merasa kemampuan gue sangat hebat. Kami sering ribut dari semester 1 bahwa soal Kimia menggunakan angka yang sulit. Sangat sulit. Akhir-akhir ini, gue mendapati bahwa soal ulangan ga jauh beda dengan soal latihan. Angka yang mudah. Kecil dan bulat. Dia jauh menurunkan tingkat kesulitan soal. Apalagi Fisika. Mengapa dari awal gue merasa di jorokkin ke IPA? Gue inget banget. Ulangan vektor, yang mana gue ngaku ga bisa, hasilnya 70. Gue ga remedial. Gue merasa ga bener-bener menguasai. Sisanya ulangan fisika gue ga jauh dari 70. Meski begitu, ulangan terakhir yang mengenai suhu & kalor gue memperoleh 30 sebagai hasilnya. Bukan gue salah 7, tapi itu cuma ongkos nulis. Artinya? Gue salah semua. Tau berapa yang tertera di rapot untuk nilai Fisika? 78. Matematika? Trigonometri gue dapet 75. Coba tanyain gue sekarang tentang pengerjaannya. Gue ga bakal bisa jawab. Logika matematika tentang penarikan kesimpulan di ujikan dengan 3 soal. Terpengaruh dengan bocoran kelas sebelah bahwa jawabannya adalah sah-tidak sah-tidak sah gue berkeras menjawab soal dengan urutan seperti itu. Bukan karena gue ga percaya diri. Sampe mau ulangan pun, engga. Sampe sekarangpun, gue ga ngerti cara pengerjaannya. Modus tollens lah, modus silogisme dll. Keluar-keluar, pada ngebahas soal itu dan sebagian besar menjawab sah-tidak sah-sah. Bahkan yang terpinter di kelas. Bukan soal terpinter atau engga. Kayanya gue doang yang jawabannya sah-tidak sah-tidak sah sekelas gue.

Mencoba membantu gue menentukan keputusan, guru gue mengarahkan dengan bertanya jurusan kuliah yang gue inginkan. Yang pasti bukan tentang IPA., gue bilang. Beliau melanjutkan dengan berkata bahwa pilih jurusan yang pelajarannya kusukai. Gue mikir dan tidak menemukan pelajaran itu. Gue ga suka semua pelajaran. Tentu gue cuma dalam hati. Yang gue suka itu baca novel. Soal ilmu alam, gue hanya menganggapnya menarik, sama sekali ga buat jalur hidup gue. Akhirnya wali kelas gue menyerahkan surat daftar ulang yang beliau suruh gue bawa dengan isinya besok. Gue memfotokopi rapot gue dulu. Lalu menentukan jurusan IPS, gue mengisi surat dan membawanya ke ruang guru di lantai tiga. Sementara berlari ke atas, di pertengahan tangga seperti biasa gue mengintip ke foto Re-. Gue menyadari satu hal yang besar. Ke IPS berarti berpisah dengan Re-. Tentu dengan masuk IPA gue ga bersama dengan Re- dalam arti yang harafiah. Bersama dengan dia gue maksudkan dengan mendengar apa yang sudah ia dengar. Melakukan hal-hal yang sempat ia lakukan. Mempelajari semuanya, dengan bahan yang pernah Re- pelajari. Dengan begitu gue bakalan tau apa yang Re- tau, setidaknya tentang ilmu alam yang dia timba di SMA. Gue ga bakal bisa nyusul jurusan Re- di kampus, kalo dia masuk kuliah jurusan IPA. Gue ga bisa jadi juniornya lagi. Gue ga bisa.

Gue basa-basi dikit dengan wali kelas gue dengan bertanya jurusan yang Oni ambil. Wali kelas gue terdiam sebentar lalu menjawab dengan tenang bahwa Oni tidak naik kelas. Gue bener-bener ga nyangka, seperti yang gue tulis tadi. Sebagai 2 manusia yang kerap bersama, gue membandingkan nilai gue dengan dia. Ga jauh beda. Bahkan jumlah nilai merahnya dengan gue waktu rapot bayangan semester 2 sama. 14. Meski akhir-akhir ini nilai Oni agak mengejutkan. Maksud gue, gue bahkan ga pernah membayangkan hal itu akan terjadi ke dia. Dia orang yang bersemangat banget untuk masuk IPA. Nilai semester 1 nya tidak begitu buruk. Ga sekali dua kali nilai gue kalah. Nilai sosiologi dia malah lebih tinggi. Gue merasa sedikit aneh. Bukan, gue merasa banyak keanehan dalam peristiwa yang menimpa Oni. Semalem tepatnya pukul 7 malam dia nelpon ponsel gue. Wali kelas gue menyatakan bahwa Oni sampai menangis saat di panggil. Wali kelas gue menyatakan bahwa keluarga Oni merupakan keluarga yang rumit. Oni juga sedikit mengalami tekanan karena kakaknya yang berprestasi. Dengan seluruh bebannya, gue sama sekali ga melakukan apa-apa. Bukannya gue ga mau, dari awal semester sampai ulangan umum pun, ga pernah sekalipun dia menceritakan detail keadaan rumahnya. Ibunya, bibinya, kakaknya, saudaranya, dan lain-lain. Dari semua yang ia kisahkan pada gue, gue yang awalnya rada curiga merasa semuanya baik-baik saja. Gue juga ga enak buat jadi orang yang entah terlalu ikut campur atau orang yang peduli sahabatnya. Kalau kejadiannya sampai ia menangis di depan wali kelas dan bukan gue sebagai teman terdekatnya sepanjang kelas 10 ini, berarti gue memiliki andil sangaat besar dalam kegagalannya.

Satu hal yang bikin gue merasa sebagai jimat berkekuatan negatif. Gue di kelas 10, punya beberapa anak yang menjadi anggota tetap bila ada pembentukan kelompok. Gue, Oni, Jae. Dulu satu anak cowo yang mungkin pernah gue buatin nama samarannya lumayan deket. Ia sering menjadi kawanan kami, meski tidak selalu. Kami berempat, bersama anak cowo itu bercanda bersama. Kadang sangat lucu sampai tidak bisa bertahan lagi. Anak cowo ini sebut aja Es deh. Oni dan Es kerap mengkompetisikan kemampuan logika masing-masing. Mereka memiliki kemampuan di bidang ilmu alam. Banyak kesempatan ketika pelajaran IPA membuka materi baru, gue ga ngerti. Mereka berdua bergantian mengajari gue sampe ngerti. Sampe di ulangan, beberapa kali gue mendapat nilai yang bagus, sementara mereka tidak. Maksudnya ga sebagus gue. Gue dituduh menyerap ilmu mereka. Gue juga ga ngerti gimana bisa. Tapi kalo gue bilang ga ngerti, berarti gue emang ga ngerti.

Kembali ke topik. Alasan gue merasa menjadi jimat jahat adalah fakta bahwa Jae, Oni, dan Es tinggal kelas. Gue cerita ke temen SMP gue, dan dia bilang bahwa gue parah, mampus banget. Apa gue memang penyerap kemampuan orang? Jae, tahun depan akan merayakan ulang tahunnya yang ke 18 di kelas 10. Gue ga tau mau ngomong apa. Soal Es, dari jauh-jauh hari dia sudah merencanakan pindah ke sekolah internasional. Oni, yang gue denger dari wali kelas gue di pindahkan ke SMK oleh bibinya.




Waktu nulis ini, gue menyadari sesuatu bahwa seorang temen Re- yang sering gue ceritakan itu mendapat perlakuan yang sama dalam penjurusan di kelas 10. Ia sebenarnya masuk IPA, tapi ia memilih IPS. Ga sama sih, mirip. Kalau gue, bener-bener di bebaskan.

Kamis, 07 Juni 2012

Secret Admirer


Rabu, 6 Juni 2012

Liburan membuat gue kehilangan cerita. Tentu cerita tentang ‘dia’. Re-, he has graduated. Semua yang gue tulis di atas akhirnya kejadian juga. Kesamaan yang menjadi media pertemuan pertama kita dan pertemuan selanjutnya. Dia bukan kakak kelas gue lagi, dia alumni sekolah gue. Dia bukan anak SMA lagi, dia udah pergi ke kampus. Tapi dia tetap Re-, yang selama hidupnya menjalani metamorfosis. Secara sadar maupun tidak. Sama halnya dengan gue yang merupakan ciptaan progresif, gue ga akan pernah statis. Seberapa kuat manusia bertahan statis, waktu memegang kekuasaan yang dahsyat untuk mengubah setiap insan. Kita bukan garis sejajar apalagi berhimpit. Kau dan aku berpotongan membentuk sudut 93o. 9 bulan dibawah papan nama sekolah yang sama, belajar di gedung yang sama, dan pergi ke kantin yang sama. Tidak seperti seorang yang sekadar lewat di depan matamu, aku mampir sebentar ke teras hidupmu. Lalu mengintai dari balik tembokmu seperti pencuri. Itulah aku.

Kak Re-, hati-hati di jalan.

Jangan pernah mencoba mengingat aku, atau menebak siapa aku. Itu hanya membuat kepalamu sakit.

Kamis, 7 Juni 2012

Tadi berempat ngumpul-ngumpul, topik obrolan berujung pada yang galau-galau. Yul mengatakan bahwa banyak yang menyerah pada cintanya setelah mendengar seorang teman mengangkat bendera putihnya. Dengan suara lirih aku berkata pada ia yang tengah tidur di pangkuanku. ‘Gue uda di itung belom?’ lalu ia menyadari bahwa aku termasuk orang yang menyerah. Ia menyetujuinya dengan berkata bahkan aku tidak bisa mengobrol dengannya dan lain-lain. Kemudian aku bergumam,’Dari awal gue suka dia, gue uda nyerah.’ Gue rasa ga ada yang denger. Itu memang perkataan buat gue sendiri.

‘Lo ga follow twitternya?’

‘Kagak. Twitter ga gue follow, facebook ga gue add. Mutual friendsnya cuma 13.’ Sahut gue.

Lalu gue mengeraskan suara dan bilang,’Gue secret admirer.’

Jumat, 01 Juni 2012

No. 1


Selasa, 29 Mei 2012

Gue nulis bukan berarti UAS sudah selesai, tapi karena bahan ulangan besok gue sepelekan gini deh. Setelah hibernasi cukup panjang, gue bahkan udah lupa rasanya nulis. Kalo begini, banyak hal jadi terlewat. Misalnya kemarin, tanggal 25 apa 28 gitu, kakak kelas yang pernah gue ‘suka’ ulang tahun. Tentu gue tidak melakukan apa-apa. Gue cuma keinget masa SMP dulu, waktu gue begitu tergila dengan wajahnya. Seperti orang kasmaran, gue jauh merasa Re- lebih baik dibandingkan anak ini. Sama-sama kakak kelas, tapi dia setahun di atas gue. Mukanya putih, bulat, rambut pendek, dan mata sipit. Bukannya SARA tapi itu memang penampilan fisiknya. Dia cukup cute tapi gue sadar Re- yang paling keren. Dari antara semua cowok yang pernah gue anggap keren, dia nomor satu.

Bukannya gue ga pengen nulis diary dalam bahasa Inggris, sebagaimana kata diary gue ambil. Tapi apa daya, nulis pake bahasa Indonesia tercinta lebih seru.

Seseorang yang gue anggap keren juga sebagai temannya Re-, kemarin duduk di satu ruangan yang sama dengan gue meski gue baru menyadari ketika berjalan keluar.

Satu kasus menimpa gue dan Lee tadi siang. Gue ga tau apa Lee juga ikut rugi, karena semuanya ini salah gue. Tapi Lee ikut kena. Bukan salah gue semua juga sih, tapi bagaimana ini bisa tertangkap itu salah gue. Kasusnya gausah gue ceritain ah, males.

Gue kembali terjerumus ke dalam permainan pikiran. Gue tulis ‘kembali’ karena ini bukan yang pertama. Rasanya dari pertama kali gue kenal yang namanya ‘suka’. Permainan pikiran, seperti penggambaran fan-fiction yang bermain di otak gue. Jadi gue menjadi pemeran utama yang hidup sesuai keinginan gue. Gue tau, bila dilanjutkan, gue akan menjadi gila.

Gue menjadi perantara teman gue yang meminta novelnya kembali dari teman yang lain. Setelah kian lama menunggu sampainya buku itu di tangan gue, tuh buku malah kebasahan di tas gue. Botol minum gue bocor. Bukunya 50 ribu-an, dan gue juga ga enak untuk mengembalikan dalam bentuk keriting-keriting.

Wednesday, May 30th 2012

Let me try to write in English.

Finally, i’ve confessed all. What I feel along year. Not to him, of course. To my friends. I shout this to them before. Place together with no one we know. Oh, no skill me.

Karena bingung pake bahasa inggris, gue pake bahasa Indonesia lagi aja. Gue membuat semuanya kurang asik. Harusnya gue kasih klu-klu dulu. Bilang dia anak OSIS, pengurus inti tahun lalu dan berperan sebagai bendahara. Kelas IPA 2, pernah menjadi anggota paskibra namun akhir-akhir ini lebih banyak menjadi pemimpin upacara. Namanya sama dengan ‘itu’ (sambil memandang ke satu anak). Re-.

Kan kalo begitu lebih keren.

Thursday, May 31st 2012

I found out that he and all 12st grade students will hold their graduation on 2nd June 2012, 2 days more from today. Tomorrow i will has a chance to see him for a seconds. I go to school at 7am and just 45 minutes to complete my tasks. I thought they will do the last practice for graduation on 8am. I will make a good reason. Accompany friend. It’s not wrong either.

Jumat, 1 Juni 2012

Karena kebudayaan karet bangsa, gue kehilangan kesempatan. Pengumuman menyatakan bahwa ulangan dimulai pukul 7, tapi 7.20 belum juga mulai. Waktu akhirnya selesai jam 8an, gue baru nyadar kalo Re- ga mungkin baru dateng jam segitu. Pasti dateng paling lambat 5 menit sebelum mulai. So frustating. Besok dia pelepasan. Pengembalian anak kepada orangtuanya. Secara jelas ia sudah tidak terikat di SMA gue lagi. Kalau satu-satunya kesamaan kita sudah berbeda, mau apa lagi gue? Sisa kesamaan kita adalah kewarganegaraan, spesies, tempat tinggal, bahasa, ke-cacatan mata.