Kamis, 21 Juni 2012
Semalem gue mimpi! Bukan tentang Re-. Ini tentang Oni.
Mimpinya panjang, dan cerita awalnya ga bisa gue ceritain,
karena kapayahan otak gue. Pokoknya suasana kelas baru itu seperti pertokoan di
Mangga Dua, cuma ini sederet paling 2 toko. Gue pergi ke tempat lain dulu
karena kaget setelah melihat adik temen gue yang masih kecil merokok. Gue pergi
ke satu anak dan parahnya gue lupa siapa dia. Balik-balik gue sadar gue uda
telat di hari pertama gue sekolah. Melihat ke satu kelas, itu guru BI gue kelas
10. Oh, pelajaran pertama gue olah raga. Gue ke kelas sebelahnya. Gue
mencari-cari, lalu Oni keluar dan memberikan secarik kertas kecil. Gue
mengetahui itu sebagai tugas pertama yang harus di lakukan. Menggambar beberapa
orang yang di tentukan. Gue tahu tugas itu bener-bener ga ada hubungannya sama
olah raga, tapi itulah kenyataannya. Eh, mimpinya. Balik ke mimpi gue, gue
menerima kertas pekerjaan Oni dengan terisak lalu menangis keras karena
terharu. Karena sedih bahwa gue ga akan melihat dia lagi dalam keseharian di
sekolah. Gue ga bisa diskusi soal fisika lagi. Gue ga bakal di ikutin dia lagi
ke toilet. Ga akan ada yang mengetuk-ngetuk pintu kabis toilet saat gue di
dalamnya. Ga ada lagi anak yang mengenalkan gue pada lagu barat yang sedang nge-trend.
Gue bener-bener ga boong. Beberapa hari setelah ia mengenalkan gue pada satu
lagu, temen-temen sekelas akan beramai-ramai menyanyikannya, TV juga memutarkan
pada siarannya. Ga ada lagi wanita yang bersuara paling keras di kelas. Ga ada
lagi anak yang mampu menghadapi kemarahan kakak kelas. Anak itu, Oni. Setahun
bersama gue yakin gue akan merasa kehilangan. Dia yang membantu gue bergaul.
Dia yang sempat gue iri-in karena lebih dekat dengan anak-anak sekelas. Bahkan
gue sempet berpikir bahwa Tha, seorang yang dulu pernah gue sebut-sebut yang
akhir-akhir ini bersikap baik padaku itu adalah pintaan Oni. Tha yang merasa
aneh dengan perilaku gue lalu di jawab Oni dengan membela gue habis-habisan.
Bahkan menyarankan gue untuk bersikap baik pertama terhadap gue. Atau Oni
menyadari rasa iri gue saat dia bersama Tha lalu dengan sesuatu yang tidak gue
duga Tha beralih ke gue. Well, itu
cuma bayangan gue. Tapi memang mencurigakan sih, soal Tha yang ramah itu.
Oni yang merendahkan dirinya, menghadapi gue yang sering
sensitif ga ketulungan. Marah pada hal-hal kecil, ngambek pada suatu yang
sepele. Egois, pemarah, selalu mau menang sendiri itulah gue. Tepatnya gue
terhadap Oni. Banyak hal yang gue sesali telah melakukannya kepada Oni. Tapi
bahkan rasanya terlalu drama buat gue bilang hal-hal semacam itu pada Oni. Gue
mengakui gue banyak melakukan kesalahan. Banyak melakukan yang tidak seharusnya
gue lakukan, kepada teman yang baik buat gue. Ini terlalu cepat buat
perpisahan. Gue bahkan ga bisa menebusnya dengan melakukan hal-hal yang baik
kepadanya setahun kedepan. Gue mungkin pernah menyesal telah memberitahukan
soal Re- kepada Oni, dan bahkan mengatakan kepadanya bahwa aku melakukannya
dengan terpaksa. Oke, gue jahaatttt banget. Gue sama sekali ga menganggap dia teman
terdekat. Meski begitu, dari antara semua teman gue yang lain, hanya dengan Oni
gue mampu memuji-muji Re- secara nyata. Bukan hanya lewat tulisan semata yang
ga di baca siapapun. Bahwa Re- itu keren, kayanya dia yang pertama denger dari
mulut gue. Kalo mulut gue ga terlalu rancu dan ga merasa ini terlalu lesbian,
gue mau bilang ke Oni bahwa berbahagialah karena dia yang pertama tahu bahwa
gue menyukai Re-, selain Tuhan, gue, dan otak gue sendiri. Mungkin bagi lo ini
ga berarti. Tapi kalau nanti gue menyukai seseorang lagi, apa lo mau tau lagi?
Kata sebuah drama Korea yang lumayan anyar, kenangan adalah sebuah media
bersama orang yang kita inginkan. Apabila kenangan itu tidak ada, kita tidak
akan bersama dengannya selamanya. Gue ga tau apa yang akan Oni lakukan terhadap
kenangan gue dengannya. Mungkin baginya ini pahit dan ga pantas di kenang. Dia
hanya mengenang kelas 10 tanpa gue. Tapi bagi gue, setahun itu waktu yang cukup
banget, buat gue sayang sama lo. Lo udah hampir nyaingin Re- dengan membuat gue
menulis tentang lo satu setengah halaman a4. Meski temen-temen sering merespon
negatif tentang lo, gue tetep sayang sama lo. Sama dengan Jae. Gue hanya tidak
suka dengan cara gue. Jalan gue. Bukan lewat gosip yang beredar tentang lo,
tapi dengan pengalaman gue. Tapi ketidak sukaan gue bukan berarti gue membenci
kalian. Kalian teman terbaik gue di kelas 10. Kalian nyambung saat becanda
dengan gue. Menemani gue di sudut kelas. Tentu ini cuma diksi, karena pada
kenyataannya sudut kelas adalah tempat anak eksis.
Senin, 25 Juni 2012
Semalem gue mimpi lagi. Gue sendiri merasa bahwa gue tukang
mimpi. Entah sengaja maupun tidak.
Di sebuah tempat yang menurut gue sekolah, karena kami
mengenakan seragam, tapi suasanannya bukan di sekolah gue sekarang. Seperti
biasa, gue berjalan bersama Oni di samping gue. Lalu di depan kami berdiri Re-
dengan teman-temannya. Anehnya, di sana Re- sangat pendek sampai lebih pendek
dari gue. Ini bener-bener salah. Lanjut, di ujung jalan gue berhenti sebentar,
berharap Re- berjalan melewati gue. Tapi karena Re- ga lewat-lewat, gue
putuskan untuk melanjutkan berjalan. Sepertinya ia tengah mengurus ijazahnya,
begitu pikir gue di sana. Gue naik ke atas, ke ruangan yang gue tuju. Gue ga
yakin itu kelas karena lapangan olah raga sampai toilet ada di sana. Lebih
mengejutkan lagi, Re- udah duduk di sana. Entah gimana, gue akhirnya duduk di
deket Re-. Gue minum air mineral dengan mengangkat botolnya tinggi-tinggi.
Sampai di suatu topik Re- bicara, gue tanpa menurunkan botol itu dari
ketinggiannya melirik Re- dari atas. Kejadian itu berlangsung 2 kali. Lalu
mereka beserta gue pindah ke tempat lain. Tentu di sana gue bukan yang tidak
mengenal siapa-siapa. Ada seorang teman di samping gue meski gue ga tau siapa.
Atau gue merasa tidak asing di sana. Hal yang sama kembali terjadi. Kayanya
maksud gue begitu karena gue cuma mau lihat dia deh. Tapi Re- malah marah.
Tiba-tiba Re- duduk di tempat seperti meja guru dan duduk di sana tanpa
melakukan apa-apa. Pokoknya Re- marah. Teman dekat Re-, sebut saja putih menyuarakan
ketidaksetujuannya atas sikap gue. Mendapatkan segala tekanan, gue merasakan
sedih. Tiba-tiba di kenal oleh pujaan dengan cara yang tidak baik. Citra gue
juga buruk banget. Gue menatap Re- yang duduk di meja guru tersebut. Gue
merasakan dorongan untuk meminta maaf langsung kepadanya, tapi tentu keberanian
itu tidak ada. Gue galau sendiri menunggu waktu yang tepat ketika keberanian
itu datang. Tapi sebelum saat itu datang, gue keburu bangun.
Gue ga terlalu semangat dengan mimpi ini. Entah. Apa gue sudah
mengubur Re- tanpa gue sadari?