Jumat, 8 Juni 2012
Karena ga ada makanan di rumah, kami sekeluarga berangkat ke
tempat perbelanjaan terdekat. Untuk mencari makan. Di lobi, terdapat pameran
perhiasan. Terkagum sebentar, ibu gue menyebut nama Re-. Gue rada terkejut.
Ternyata itu nama satu merek perhiasan. Gue nanya, apa toko itu terkenal, atau
perhiasannya bagus-bagus. Ibu gue cuma bilang bukan apa-apa. Gue mengajukan
pendapat bahwa ia berkata begitu karena stand merek itu berdiri di depan toko
yang sebenarnya. Ibu gue mengiyakan. Jadilah gue manfaatkan kesempatan itu
dengan sangat maksimal untuk melafalkan nama Re- secara nyata dan agak lebai.
Masalahnya selama ini gue ga enak nyebut nama itu secara gamblang di sekolah
maupun dengan temen gue. Buat nyebut nama itu berulang-ulang sendirian juga
rasanya aneh. Jadi lidah gue sangat puas rasanya. Re- Re- Re-.
Minggu, 10 Juni 2012
Semalem, gue mimpiin Re-.
Entah kenapa gue mimpi banyak banget. 3 hal. Atau 3 mimpi
itu tiba-tiba teringat. Gue juga ga ngerti.
Satu. Gue menonton drama musikal dari sekolah yang pernah
gue minati untuk menulis script-nya. Meski pada akhirnya gue batal
berpartisipasi dalam penulisan. Di mimpi itu gue nonton, di tempat yang aneh.
Rada goyang kaya mau jatuh. Serem ya.
Dua. Gue mimpiin seseorang yang mirip Yul. Di sana ia
menjadi orang yang sangat sombong. Ia punya seruangan besar berisi wardrobe dan ia sangat bangga akan hal
itu.
Tiga. Gue merasa mimpi ini yang pertama, tapi karena ini
adalah yang terpenting menurut gue, gue tulis di bagian akhir. Walau hanya satu
scene. Entah bagaimana ceritanya, Re-
menggoda gue sekali waktu. Menjahili gitu loh. Lalu seperti respon kebanyakan,
gue cuma bilang ‘apa sih’ gitu. Sementara temen-temen gue udah pada nyorakin
gue ‘cie cie’. Sebuah keadaan yang bener-bener ga bisa di bilang masa depan.
Lead pernah bercerita bahwa dulu ia sempat bermimpi ia berada di sebuah sekolah
berisi siswa-siswa yang tidak ia kenal. Sampai waktunya ia masuk SMA, ia sadar
bahwa yang ia mimpikan waktu itu adalah teman-teman kelasnya yang baru ia
kenal. Gue sama sekali ga punya kemampuan, dan terlalu jauh dari kenyataan. Gue
ga kenal Re- secara resmi.
Mungkin terbersit pertanyaan. Mengapa tulisan gue isinya ga
jauh-jauh dari mimpi? Sepertinya karena gue ga bisa memiliki kenyataan yang gue
inginkan. Gue mencoba memilikinya lewat mimpi.
Gue kadang mengagumi seorang penulis cerita. Terutama film.
Cerita itu sendiri dibuat dari segala kemungkinan yang muncul di otak
penulisnya. ‘What if’ itu kata
kuncinya. Penulis cerita memikirkan segala yang bisa saja terjadi. Jika bumi
ini tidak mampu membuatnya nyata, ia membuat bumi baru yang memungkinkan segala
yang terjadi dalam pikirannya. Menjadi ‘tuhan’ bagi fiksinya. Menentukan nasib
tokoh-tokohnya. Membuat segala alur hingga tampak seperti yang seharusnya
terjadi. Merancang setiap detil dunianya.
Jumat, 15 Juni 2012
Hari ini gue bagi rapot. Sekaligus penyaringan IPA dan IPS.
Mungkin ga banyak yang terjadi. Tapi rasanya ini kaya mimpi. Gue beberapa kali
bengong, ga yakin akan kenyataan.
Gue berangkat tanpa rasa takut. Gue merasa semuanya sama
seperti yang terjadi sejak SD. Di takutin lah, tapi akhirnya gue naek dengan
aman. Tapi gue gentar, mulai masuk wilayah sekolah. Gue nulis catetan di luar
kelas, menyatakan bahwa gue di antrian ke 23. 2 anak kelas gue, salah satunya
Lee menghampiri gue. Mereka ribut menyatakan bahwa kelas kami meninggalkan 5
anak di kelas 10. Mau ga mau gue gemeteran, pasalnya gue yang ke 23 dari 28.
Pikiran gue yang sempit menyatakan bahwa dari sisa itu 5 di antaranya tinggal
kelas. Gue melewatkan bahwa yang tinggal kelas sudah di telepon hari
sebelumnya. Mereka terus menyebutkan nama Oni sebagai salah satunya. Gue sih ga
percaya abis kalo Oni sampe salah satu di antara 5 anak itu.
Masuk-masuk, gue di tenangkan dengan pernyataan bahwa gue
naik. Lalu wali kelas gue menyerahkan keputusan IPA atau IPS ke tangan gue. Ya,
beliau membebaskan gue memilih sementara yang lain hanya tinggal menerima.
Selingan aja, temen gue yang di kelas sebelah dari awal memilih IPA sebagai
jurusannya. Tapi keputusannya ia harus masuk IPS. Bahkan ia sudah meminta
kepada wali kelas untuk pertolongan. Tapi nihil. Di sisi lain gue boleh
memilih. Gue merasa terlalu di istimewakan. Gue mengkakhiri dengan IPS. Kakak
dan nyokap gue terus membujuk gue untuk membatalkan dan memilih IPA. Mereka
bilang, bila gue milih IPS gue bakal nyesel. Gue emang ga terlalu suka
pelajaran IPS, tapi bukan berarti IPA lebih baik. Gue sendiri menyimpulkan
alasan wali kelas gue menyerahkan keputusan ke tangan gue adalah karena nilai
gue standart semua. Gue tidak memiliki berat di IPS atau IPA. Menjadi penolakan
besat gue masuk IPA adalah karena gue merasa ga kuat. Mungkin guru dan keluarga
gue merasa gue mampu untuk mengerti semuanya. Berdasarkan nilai, gue sih ga
terlalu kurang. Yang jadi protes besar gue adalah nilai itu palsu. Dongkrakan
abis. Biologi gue, dari awal gue masuk sekolah ini, nilainya ga pernah lebih
dari 70, yang adalah KKM(tau kan singkatannya). Itupun ga semuanya dapet 70,
sisanya ada yang 65, 50, dan yang terakhir mencapai 33. Nilai kimia gue sempat
hancur di semester pertama, meski di semester 2 gue mengalami banyak sekali
peningkatan. Bukan karena gue semakin mengerti atau rajin belajar. Kepala
sekolah bahkan mengakui meski tidak menyebut merek, bahwa guru kimia sudah
menurunkan standart penilaian. Maksudnya soal ulangan. Gue sangat merasa
tingkat kesusahan soal Kimia jauh menurun dari semester 1. Bukannya gue merasa
kemampuan gue sangat hebat. Kami sering ribut dari semester 1 bahwa soal Kimia
menggunakan angka yang sulit. Sangat sulit. Akhir-akhir ini, gue mendapati
bahwa soal ulangan ga jauh beda dengan soal latihan. Angka yang mudah. Kecil
dan bulat. Dia jauh menurunkan tingkat kesulitan soal. Apalagi Fisika. Mengapa
dari awal gue merasa di jorokkin ke IPA? Gue inget banget. Ulangan vektor, yang
mana gue ngaku ga bisa, hasilnya 70. Gue ga remedial. Gue merasa ga bener-bener
menguasai. Sisanya ulangan fisika gue ga jauh dari 70. Meski begitu, ulangan
terakhir yang mengenai suhu & kalor gue memperoleh 30 sebagai hasilnya.
Bukan gue salah 7, tapi itu cuma ongkos nulis. Artinya? Gue salah semua. Tau
berapa yang tertera di rapot untuk nilai Fisika? 78. Matematika? Trigonometri
gue dapet 75. Coba tanyain gue sekarang tentang pengerjaannya. Gue ga bakal
bisa jawab. Logika matematika tentang penarikan kesimpulan di ujikan dengan 3
soal. Terpengaruh dengan bocoran kelas sebelah bahwa jawabannya adalah
sah-tidak sah-tidak sah gue berkeras menjawab soal dengan urutan seperti itu.
Bukan karena gue ga percaya diri. Sampe mau ulangan pun, engga. Sampe
sekarangpun, gue ga ngerti cara pengerjaannya. Modus tollens lah, modus
silogisme dll. Keluar-keluar, pada ngebahas soal itu dan sebagian besar
menjawab sah-tidak sah-sah. Bahkan yang terpinter di kelas. Bukan soal terpinter
atau engga. Kayanya gue doang yang jawabannya sah-tidak sah-tidak sah sekelas
gue.
Mencoba membantu gue menentukan keputusan, guru gue
mengarahkan dengan bertanya jurusan kuliah yang gue inginkan. Yang pasti bukan
tentang IPA., gue bilang. Beliau melanjutkan dengan berkata bahwa pilih jurusan
yang pelajarannya kusukai. Gue mikir dan tidak menemukan pelajaran itu. Gue ga
suka semua pelajaran. Tentu gue cuma dalam hati. Yang gue suka itu baca novel.
Soal ilmu alam, gue hanya menganggapnya menarik, sama sekali ga buat jalur
hidup gue. Akhirnya wali kelas gue menyerahkan surat daftar ulang yang beliau
suruh gue bawa dengan isinya besok. Gue memfotokopi rapot gue dulu. Lalu
menentukan jurusan IPS, gue mengisi surat dan membawanya ke ruang guru di
lantai tiga. Sementara berlari ke atas, di pertengahan tangga seperti biasa gue
mengintip ke foto Re-. Gue menyadari satu hal yang besar. Ke IPS berarti
berpisah dengan Re-. Tentu dengan masuk IPA gue ga bersama dengan Re- dalam
arti yang harafiah. Bersama dengan dia gue maksudkan dengan mendengar apa yang
sudah ia dengar. Melakukan hal-hal yang sempat ia lakukan. Mempelajari
semuanya, dengan bahan yang pernah Re- pelajari. Dengan begitu gue bakalan tau
apa yang Re- tau, setidaknya tentang ilmu alam yang dia timba di SMA. Gue ga
bakal bisa nyusul jurusan Re- di kampus, kalo dia masuk kuliah jurusan IPA. Gue
ga bisa jadi juniornya lagi. Gue ga bisa.
Gue basa-basi dikit dengan wali kelas gue dengan bertanya
jurusan yang Oni ambil. Wali kelas gue terdiam sebentar lalu menjawab dengan
tenang bahwa Oni tidak naik kelas. Gue bener-bener ga nyangka, seperti yang gue
tulis tadi. Sebagai 2 manusia yang kerap bersama, gue membandingkan nilai gue
dengan dia. Ga jauh beda. Bahkan jumlah nilai merahnya dengan gue waktu rapot
bayangan semester 2 sama. 14. Meski akhir-akhir ini nilai Oni agak mengejutkan.
Maksud gue, gue bahkan ga pernah membayangkan hal itu akan terjadi ke dia. Dia
orang yang bersemangat banget untuk masuk IPA. Nilai semester 1 nya tidak
begitu buruk. Ga sekali dua kali nilai gue kalah. Nilai sosiologi dia malah
lebih tinggi. Gue merasa sedikit aneh. Bukan, gue merasa banyak keanehan dalam
peristiwa yang menimpa Oni. Semalem tepatnya pukul 7 malam dia nelpon ponsel
gue. Wali kelas gue menyatakan bahwa Oni sampai menangis saat di panggil. Wali
kelas gue menyatakan bahwa keluarga Oni merupakan keluarga yang rumit. Oni juga
sedikit mengalami tekanan karena kakaknya yang berprestasi. Dengan seluruh
bebannya, gue sama sekali ga melakukan apa-apa. Bukannya gue ga mau, dari awal
semester sampai ulangan umum pun, ga pernah sekalipun dia menceritakan detail
keadaan rumahnya. Ibunya, bibinya, kakaknya, saudaranya, dan lain-lain. Dari
semua yang ia kisahkan pada gue, gue yang awalnya rada curiga merasa semuanya
baik-baik saja. Gue juga ga enak buat jadi orang yang entah terlalu ikut campur
atau orang yang peduli sahabatnya. Kalau kejadiannya sampai ia menangis di
depan wali kelas dan bukan gue sebagai teman terdekatnya sepanjang kelas 10
ini, berarti gue memiliki andil sangaat besar dalam kegagalannya.
Satu hal yang bikin gue merasa sebagai jimat berkekuatan
negatif. Gue di kelas 10, punya beberapa anak yang menjadi anggota tetap bila
ada pembentukan kelompok. Gue, Oni, Jae. Dulu satu anak cowo yang mungkin
pernah gue buatin nama samarannya lumayan deket. Ia sering menjadi kawanan
kami, meski tidak selalu. Kami berempat, bersama anak cowo itu bercanda
bersama. Kadang sangat lucu sampai tidak bisa bertahan lagi. Anak cowo ini
sebut aja Es deh. Oni dan Es kerap mengkompetisikan kemampuan logika
masing-masing. Mereka memiliki kemampuan di bidang ilmu alam. Banyak kesempatan
ketika pelajaran IPA membuka materi baru, gue ga ngerti. Mereka berdua
bergantian mengajari gue sampe ngerti. Sampe di ulangan, beberapa kali gue
mendapat nilai yang bagus, sementara mereka tidak. Maksudnya ga sebagus gue.
Gue dituduh menyerap ilmu mereka. Gue juga ga ngerti gimana bisa. Tapi kalo gue
bilang ga ngerti, berarti gue emang ga ngerti.
Kembali ke topik. Alasan gue merasa menjadi jimat jahat
adalah fakta bahwa Jae, Oni, dan Es tinggal kelas. Gue cerita ke temen SMP gue,
dan dia bilang bahwa gue parah, mampus banget. Apa gue memang penyerap
kemampuan orang? Jae, tahun depan akan merayakan ulang tahunnya yang ke 18 di
kelas 10. Gue ga tau mau ngomong apa. Soal Es, dari jauh-jauh hari dia sudah
merencanakan pindah ke sekolah internasional. Oni, yang gue denger dari wali
kelas gue di pindahkan ke SMK oleh bibinya.
Waktu nulis ini, gue menyadari sesuatu bahwa seorang temen
Re- yang sering gue ceritakan itu mendapat perlakuan yang sama dalam penjurusan
di kelas 10. Ia sebenarnya masuk IPA, tapi ia memilih IPS. Ga sama sih, mirip.
Kalau gue, bener-bener di bebaskan.