Jumat, 20 April 2012

UN


Rabu, 18 April 2012

Gue akan menceritakan yang terjadi hari Senin. Bukan gue ga punya waktu buat nulis, tapi perasaan gue ga cocok untuk menulis

Karena takut lupa, gue menulis intinya di note di ponsel gue. Acara di mulai dengan karaoke. Gue dari awal kurang setuju dengan ide ini. Karena menurut gue karaoke adalah saat melepaskan penat. Karaoke yang sebenarnya cuma pernah gue lakukan sekali, setelah UAS SMP lalu. Mungkin saat karaoke gue ga merasakannya, tapi keluar dari sana gue sadar gue udah salah. Gue ga seharusnya pergi karaoke bersama teman-teman anyar gue. Sebelumnya gue karaoke sama temen SMP yang udah satu sekolah dari SD. Ya, gue ga bisa mengendalikan diri gue di dalam sana. Menjadi orang gila seutuhnya. Anak-anak mungkin tidak menunjukkannya. Jika memang mereka tidak merasakannya, kemudian gue saja yang merasa ilfeel dengan diri gue sendiri. Tetep aja, gue merasa itu semua ga pantes gue lakukan.

Gue absen, yang ikut acara kemaren itu gue, Yul, Ani, seorang yang pernah gue ceritakan dulu, Cha, dan Anto. Dua anak lagi temen angkot yang hanya hadir waktu makan siang. Dari mana gue harus cerita? Oke. Kita janjian rada pagi, dan Yul tampak kesel kelamaan nungguin gue. Semua pertanyaan gue di anggap angin lalu meski itu ga terlalu ngaruh ke mood gue yang sedang baik. Lalu di karaoke, ya gitu. Di mall ‘taman’ kami bertemu Cha dan Anto. Kami ke atas untuk membeli tiket nonton bioskop. Gini nih kalo kelamaan kejadiannya, gue jadi males cerita detail. Yang pasti sepanjang jalan gue merasa di kerasi secara verbal. Mulai dari Yul yang menganggap gue jelek abis karena rambut gue di ikat. Jadi kaya cowok lah, apa lah. Gosip anak mantan SMP yang sekarang kami anggotai yang gue misheard sebagai Lee karena huruf vokal dan suku katanya sama, lalu gue dianggap memikirkan Lee terus. Anto juga bilang gue kaya cowo. Ibu-ibu yang tampak mirip dengan gue (ini bikin gue semakin mikir, tadi ada statement bahwa gue kaya cowo, kemudian gue mirip ibu-ibu yang baru keluar dari toilet. Anehnya, kedua pernyataan ini keluar dari mulut yang sama.). Lalu tertawa yang keras ketika mereka berhasil menangkap foto gue tanpa sepengetahuan siapapun (paparazzi) dengan gue yang berposisi seperti mau ngupil. Oke, fotonya emang tampak seperti itu. Gue bener-bener keliatan mau ngupil. Gue bingung, apa gue yang terlalu sensi atau mereka yang di luar batas. Cha, temen satu SMP dan SD juga tertawa keras di sebuah tempat nongkrong umum. Kenapa ini jadi masalah?

Gue baru mencari ke atas dan gue menemukan panggilan yang satu anak lagi, Lead. Kemarin-kemarin, dia tampak menyebalkan. Tapi hari Senin lalu, meski hanya waktu terakhir gue sangat terharu dengannya. Bukannya sepanjang jalan engga. Yul yang nempel-nempel Cha dan Anto, sementara Ani sering sibuk dengan BB nya. Cuma Lead yang paling nyaman gue tempelin selama di sana. Bahkan di penghujung, gue terpesona. Ceritanya kan udah gelap nih langit. Nyokap uda nelpon, karena gue ga pernah pulang dari mall sampe malem-malem. Jam segitu biasanya gue udah di rumah. Gue yang ga enak sama nyokap, menekatkan diri berkata kata keramat ‘pulang, yuk’ di tempat nongkrong tadi. Seperti dugaan gue, suasana langsung senyap. Entah mereka ga peduli atau ga denger. Soalnya mereka lanjut ke topik mereka. Lead, dengan besar hati membantu gue menyampaikan aspirasi tersebut. Dia sedikit meneteskan beberapa air di tengah hati gue yang hampir terbakar. Yang bikin gue terharu adalah Lead tidak membawa nama gue. Dia menyuarakannya seakan dialah yang berpikiran seperti itu. Bentar dulu cerita dinginnya, gue mau emosi. Cha, yang temen deket Anto waktu SD lalu berkata bahwa dia harus ke rumah Anto yang berupa apartemen dan berlokasi di samping mall itu sebagai tanggapan atas suara Lead tadi yang bermaksud menyatakan bahwa ‘gue bahkan harus pulang lebih malem dari lu’. Mungkin maksud dia ramah, gue ga peduli. Yang saat itu gue tangkep cuma emosi. Dia itu dianter sopir. Lagian rumahnya ga jauh dari sana. Sementara gue, Lead, dan Yul harus pulang naik taksi karena langit udah gelap banget. Anto sih enak tinggal nyebrang. Cha juga tinggal duduk nyaman di Innovanya. Gue kan harus waspada ngeliatin jalan di taksi. Takut disasarin bangkrut bisa. Mungkin mereka merasa terlalu sayang untuk mengakhiri hang out yang penuh kenangan. Tapi bagi gue, gue akan lebih berbahagia untuk segera pergi dari lingkungan yang membuat gue tertekan. Setelah ini, harusnya gue jadi jauh lebih kuat, tapi gue malah nulis ini sambil berkaca-kaca.

Sebenernya banyak hal yang ingin gue tulis, tapi mungkin bukan sekarang. Tentang lingkungan pergaulan gue. Setelah gue merasa mereka tampak seperti mem-bully gue, gue lalu sadar. Jika begini terus, mungkin ga lama lagi gue akan no friend. Sedikit lebih buruk dari pem-bully-an.

Kamis, 19 April 2012

Suasana saat gue menulis sekarang bener-bener panas, jadi gue memutuskan untuk internetan aja. Mood menulis waktu panas begini nol besar. Oh, ya. Hari ini Re- udah selesai UN nya. Jadi.. Selamat tinggal, sayonara, goodbye, annyeong, zai jian, de el el.

Akhirnya gue membuka tulisan ini lagi. Dari semua site kakak kelas mengenai Re- yang gue tau, ga ada satu yang baru. They must be too busy to update. Oh, gue mau nulis sesuatu. Tentang kata yang di tulis Re- dalam akun facebooknya. Menanggapi komentar temannya yang berkata bahwa ia ‘tumbuh banget’ ia menulis ‘i do metamorphosis, everyone do ;)’ (ini gue copas abis). Sebuah kata yang tepat untuk menjelaskan dari lembaran kertas yang pernah gue tulis. Gue inget, itu adalah hari terakhir di semester 1 dimana gue tidak melihatnya di kesempatan terakhir tahun 2011. Metamorfosis. Perubahan sedikit demi sedikit yang kemudian menjadi sesuatu yang benar-benar lain. Sebuah tindakan konkrit dari penyesalan. Berharap bisa hidup lebih baik lagi. Bukti bahwa manusia itu adalah makhluk progresif. Sebentar lagi, ketika peluang itu benar-benar hilang. Saat itulah gue akan mengisi tulisan ini segala tentang gue. Dan bukan dia.

9 Juni 2011. Ini bukan tentang gue di hari itu. Tapi Re- yang menggombal lewat status facebook, dimana seorang gadis yang gue kenali sebagai ‘pacarnya’ komentar di sana.

Jadi dia baru bikin twitter 10 Maret 2010. Tanggal 1 Januari 2012 dia sudah punya blackberry. Dia bahkan menulis jelas pin blackberrynya di statusnya. Gue yang ga punya bb jadi mikir pengen beli. Tapi gue juga ga bodoh, gue ga mungkin nekat nge-add dia. Segila-gilanya gue, gue akan sebatas nge-add dan menerima update dia. Ga bakal gue ajak chat. Bodohnya, sebuah resiko muncul, bahwa dia ga bakal accept gue sebagai friend bb, secara gue ga kenal.

Ternyata, tanggal 12 Januari provider yang digunakan Re- sama dengan gue.

Jumat, 20 April 2012

Untuk mempersiapkan acara besok, kami kelas 10 dan 11 agak ‘dipaksa’ masuk sekolah. Karena bagi gue setelah UN itu kesempatan sudah hilang, gue ga ada semangat untuk bermimpi gue akan bertemu dia. Gue juga berniat bolos. Meski akhirnya gue masuk juga.

Di perjalanan keluar, gue lagi sibuk ngeliat hp karena membaca sms yang masuk. Gue sadar 2 orang lelaki berseragam sekolah hari Kamis lewat di samping gue, lalu gue merasa Oni nyenggol sikut gue.

“Hah? Apa?”

“Tuh,”sambil menodongkan dagunya.

“Wuaaaa!”

Kira-kira begitu isi percakapan gue dengan Oni. Yang gue liat cuma punggung dengan baju kasual cukup berwarna (yang gue inget ada kuningnya) di pintu ruang serbaguna.

“Kok lu baru ngasih tau gue sekarang?!” kata gue rada kesel.

“Gue juga baru tau,” Lalu tanpa ada kekuatan untuk menahan diri gue kegirangan di depan Oni. Biarin. Selama perjalanan ke mobil seorang teman, Oni bahkan mengatakan hal tepat yang ku inginkan.

“Mau balik ya?”dengan seringainya aku ingin tertawa sambil menangis. Tertawa karena rasanya panas dan sedikit gemetar, tapi menangis karena ga tau kapan bisa melihat lagi. Mungkin dia dateng untuk sekedarnya aja main-main. Secara dia orang aktif di sekolah. Tapi ga mungkin setiap hari kan. Lama-lama juga dia bosan main di sekolah dan memutuskan untuk berjalan kemanapun ia mau. Minggu depan kemungkinan melihat dia itu 0% karena dia akan ke Jogja. Kecuali lewat jejaring sosial. Mungkin gue masih bisa cuci mata.

Pulang dari rumah temen, gue di jemput kakak gue. Temen-temen yang lagi di ruangan yang sama tentu basa-basi dengan bertanya, ‘lu di jemput siapa?’. ‘Kakak gue’ ‘Kakak kandung apa kakak impian?’. Gila. Rasanya gue ga pernah di jemput orang selain orang tua, kakak, dan seluruh anggota keluarga. Paling zaman dulu, punya seseorang yang sesekali bisa ngegantiin keluarga jemput gue kalo pada ga sempet. Gue sih ga jawab apa-apa. Di perjalanan gue baru mikir jawaban yang sangat menceritakan gue banget. ‘Kakak impian gue ga kenal sama gue’. Wow, seorang pemuja rahasia. Pecinta sepihak yang sangat merana. Seorang yang ga pernah terlintas di kepala si dia. Anggota fan(s) clubnya.

Tentang teman-teman seangkutan, gue menangkap kesan negatif yang basi banget. Membicarakan seorang dalam kurun waktu tertentu. Mengatakan semua kejelekan tentangnya dan segala perbuatan yang dianggap menyebalkan. Bahkan langkah kakinya pun dianggap salah. Kalian mengerti? Ketika semua yang dilakukan orang itu salah. Bila ia bertanya, ‘apa yang kalian lakukan’ maka akan dibilang ikut campur banget. Tapi bila ia diam saja maka akan dikatakan, ‘tidak peduli’,’cuek’, dll. Kebencian yang berlebihan dan tidak sehat. Subjektif. Waktu itu seorang teman dari SMP. Sekarang As. Akan ada saatnya, gue di posisi mereka.

Menulis kisah sehari seperti ini sebenarnya tidak sekedar meluapkan perasaanmu. Tapi membuatmu kembali merasakannya. Kalo ga, kenapa gue bisa menangis saat menulis? Sama seperti ketika kita curhat dengan teman. Bedanya, temanku adalah keyboard komputer.

Gue akan menulis sesuatu yang sempat terlintas di otak gue. Teman gue, yang kakaknya merupakan kakak kelas Re- dengan Re-. Ini si Dee. Beberapa cerita tentang Re- gue denger dari dia. Ga keitung cerita dia yang menyebut-nyebut Re-, entah memang nyambung atau cuma asal ngoceh. Dan seperti cerita gue Jumat lalu, Re- memandang sesuatu di dekat gue. Saat itu Dee berjalan di depan gue. Selama ini yang kepikiran di gue hanya bahwa Dee juga menyukai Re-, atau setidaknya memiliki simpati. Tapi melihat tingkah Re-.. Berbagai kemungkinan menghasilkan kecurigaan. Jika yang ia lihat memang Dee, bukan tidak mungkin Re- merasakan hal yang sama denganku, bedanya bukan kepadaku tapi kepada Dee. Gue ga berani membayangkan scenario terburuk bahwa Re- jadian dengan Dee. Entah apa yang akan Yul katakan. Apalagi Oni. Pasti dengan muka sangat berat ia menghibur dengan berkata semua baik-baik saja. Tapi gue pasti tetep tersenyum mendengar berita itu. Meraung-raungnya di rumah aja.

Jumat, 13 April 2012

Hari 'H'


Selasa, 10 April 2012

Sudah H-6 sebelum SMA melaksanakan Ujian Nasionalnya. Kucari dulu.. Di atas banget, 15 Maret. Itu terakhir kalinya gue ngeliat Re-. Ampir sebulan cui. Keriting gue. Gue yang waktu itu nulis bakal memperlambat pulang peltam ga sekalipun gue inget. Gue selalu ingin pulang lebih cepat dan cepat. Akhirnya kita uda keluar dari jam setengah 4. Gue yakin peltam kelas 12 lebih lama. Yang nyebelin, sekalipun gue melewati beberapa anak kelas 12 yang lumayan deket sama Re-, entah sekelas atau sama-sama OSIS, Re- ga ada di antara mereka. Beberapa waktu yang lalu juga Oni sempet nyinggung. Si ‘itu’ uda jarang keliatan yah. Gue yang kala itu masih rada kesel ga menanggapi tapi malah mengalihkan topik.

Gue lagi baca satu novel terjemahan yang direkomendasi-in temen gue. So. I Married The Anti-fan. Gue sampe di tengah cerita dan sangat terbawa. Buktinya, malem gue baca tu buku gue ga bisa tidur. Imajinasi gue melayang mengilustrasikan ceritanya. Gue mau menyampaikan sesuatu cerita tentang gue sendiri bersama novel itu. Bukannya bermaksud mengklaim hebat atau apa, tapi gue bukan ga sempet berpikir tentang premis itu. Idola dengan anti-fan nya. Meski ceritanya belum ada, gue baru nerka-nerka aja. Ga lama gue ke toko buku lalu kecewa menemukan buku dengan judul seperti ide gue. Berhubung bukunya ga cukup dengan uang yang gue sediakan waktu itu, gue ga jadi beli. Ada secuil rasa iri atau apapun itu campur aduk karena merasa ‘tercuri’. Tapi gue sadar, dari premis singkat kaya gitu, butuh waktu sangat lama bagi gue untuk merangkai kisah detilnya. Sekali lagi, gue bukan anti buku itu. Ga lama, Yul bilang dia ngeliat buku yang tadi gue sebut itu dari internet. Ia beli lewat online-shop. Padahal gue ketemu di toko buku terkenal yang nemplok di mana-mana. Alhasil, tepatnya kemarin Yul menyerahkan buku itu yang tentu sudah ku minta untuk meminjamnya dari awal ia ingin memesan. Terkesan tidak mau rugi ya? Tapi membaca buku itu rasanya tidak rugi. Bukan romansa orang dewasa yang hanya berisi tawa hambar dan isak tangis. Gue beberapa kali tertawa ngakak. Seperti cerita biasa, beberapa adegan tampak klise. Tapi diseimbangkan dengan karakter yang unik. Adegan klise itu jadi tidak berarti. Bukunya kalau ga salah 60 ribu-an, dan karena terjemahan mungkin beberapa bagian terasa rancu. Karena gue sedikit tahu tentang bahasa aslinya, gue mendapati terjemahan yang jadi ga asik kalo di Indonesia-in. Kan nama tokoh utamanya Geun-yong, di tempat kerjanya dia mendapat julukan ‘Geun-yong sajalah’. Rasanya rada aneh ga? Gue sih iya, karena kebetulan gue kira-kira tau tulisan dalam bahasa aslinya. Geunyang Geunyong. Bukan masalah besar sih. Dan ini juga kebetulan banget gue bisa nebak dan gue hampir yakin kalau itu emang bener. Tapi yang lain gue ga tau. Soalnya ada beberapa nama yang ditulis dalam terjemahan dan gue ga tau dalam bahasa aslinya. Gue kan bukan pelajar bahasa Korea. Tapi kalau gue jadi penerjemahnya, gue juga bakal bingung nulis dalam bahasa Indonesia. Jadi gue rasa ‘Geunyong sajalah’ sudah tepat, tapi akan lebih menarik kalau kita tahu dalam bahasa aslinya. Karena nama julukan itu biasanya rada mirip-mirip sama nama aslinya, atau yang biasa kita sebut plesetan. Kaya Ketty Perek, Lady Gagal, Budi Anduk (ga nyambung)

Oke, segitu aja deh buat hari ini. Gue mau lanjutin baca bukunya. Seru, bung!

Rabu, 11 April 2012

Tadi gue kena giliran pidato. Urutan ketiga. Yang pertama panjang banget, yang kedua bagus banget. Gue kebanting abis. Ngeliat orang ketawa gue nge-blank. Banyak diem meski ga regresi. Ngulang-ngulang gitu loh. Kan minimal 4 menit, gue 2.55. Setiap kurang 10 detik dikurangin 1 dari 100 poin. Tau gue dapet berapa? 68. Gue rasa itu nilai kasihan deh. Pertama dia evaluasi, dia bilang untuk volume suara paling baik yang kedua, paling buruk yang ketiga. Gue uda pengen nangis. Gue rasa gue bakal dapet ancur banget. Tapi ternyata nilai gue sama dengan yang ke empat. Padahal dia jauh lebih baik dan uda 3 setengah menit. Suara lebih jelas dan ga banyak lupa. Cuma karena di terakhir dia ketawa yang ga perlu masa dia sama nilainya dengan gue yang sangat ancur. Bapak itu pasti sangat memperhatikan wajah memelas gue. Mungkin gue sangat bawel dalam menulis, tapi dalam urusan berbicara gue mandek.

Istirahat kedua, pas balik mau ke kelas, di tempat dulu pernah gue mengira Re- di sana, terdengar suara mirip Re-. Gue nengok ke Oni tapi dia tidak merespon berlebihan seperti biasanya. Gue menganggap Oni ga lihat, jadi gue berpikir untuk menyempatkan diri nengok ke bawah di detik-detik terakhir. Gagal. Kebetulan sekali, dari bawah temen SD gue manggil. Gue memanfaatkannya dengan turun ke bawah nyamperin dia. Ya, gue emang ga yakin, tapi yang pasti warna seragam gerangan sama dengan yang Re- pake. Lalu gue berpikir. Re- itu kelas 12. Ga berapa lama lagi dia Ujian Nasional. Ga mungkin dia ngaso sebelum pulang. Meski suaranya mirip.. Gue memutuskan bahwa itu bukan Re-. Rasanya pengen teriakin namanya. Hm. Petunjuk tentang namanya, ada di sebuah dimensi di mana bagian tubuh kita dipuaskan. Kadang tidak terima hanya terpantul, kita membarterkan haknya. Spesifiknya lagi, bulan yang bisa di tukar. Ini pertama kali gue publikasikan sebuah teka-teki. Gue yakin kalian pasti bingung. Sama dong.

Kamis, 12 April 2012

Hari ini gue ngelewatin Re- 2 kali pas ngelewatin tangga. Lebih tepatnya sih gambar Re- yang lagi senyum. Lumayan lah. Resenya, abis Ujian Nasional kelas 12 langsung cabut ke Jogja buat perpisahan. Gila deh. Ilang mood dikit gue madol deh. Kaya orang bego, masa gue ga masuk gara-gara Re- seorang.

Di kelas, gue berkesempatan nanya ke teman sebangku gue yang ternyata SD nya bermerk sama dengan Re-. Yang berarti sama juga dengan ketua OSIS dulu itu. Ya menurut gue biar ga ketara gue nanyanya membawa nama mantan ketua OSIS itu. Lagian wajar kalau gue nanya tentang orang se-eksis dia kan. Gue tanya. ‘Eh, dulu lu satu sekolah sama (Nama ketos) ya? Katanya dia SMP nya di (Nama sekolah)’? ‘Hah, iya? Setau gue yang dari (Nama sekolah) si Re-.‘ Jawabnya sambil cengengesan. Deg! ‘Iya ya? Gatau deh. Tapi waktu SD lu pernah liat dia ga?’ ‘Si Re-? Ga pernah.’ ‘Si ketos?’ ‘Ga pernah juga. Mungkin mereka baru masuk pas SMP, gue kan udah ke sini pas SMP’

Di perjalanan,kami ngobrol ngalor ngidul hingga sampe ke topik masa orientasi. Yang ga pernah bosen untuk kembali diperbincangkan. Ini awalnya tentang salah satu kelas bawah yang hobi tertawa. Bahkan ketika dimarahin. Diceritakan bahwa Re- menyatakan blak-blakan di depan kelas bahwa ia paling ga suka dengan anak ini. Ia juga menceritakan saat briefing sebelum orientasi, teman ini sedang mencatat tugas dengan berantakan. Lalu Re- yang berkeliling kelas berhenti di sampingnya dan memperhatikan tulisan teman ini. Saat mencari sekretaris kelas, Re- menunjuk teman ini. Belakangan Re- baru tahu bahwa teman ini adalah adik dari seorang kakak kelas mereka. Jadi teman ini merasa bahwa ia yang selalu disebut Re- dalam hal apapun. Entah gue harus bersyukur atau iri. Kalau gue menjadi anggota kelas mereka, gue ga yakin gue bakal suka sama Re- yang terkenal kejam itu. Gue sendiri bisa tertarik ke dalam grafitasinya kan karena kelembutannya. Gue yang terlalu terharu bahwa ia bisa mengingat nama gue. Beberapa waktu kemudian, gue baru mikir. Jangan-jangan saat itu gue megang papan nama yang segede gaban. Kalau memang Re- membaca papan nama itu, gue harus apa? Merasa bodoh karena salah memberi cinta?

Pembicaraan kami tentang Re- di masa orientasi berhenti sampai di situ, karena gue uda harus turun. Gue sangat menyayangkannya. Kenapa ga dari tadi kita ngomong kaya gitu. Gue pengen bilang ‘laen kali kita lanjutin ya,’ tapi ga jadi. Kayanya terlalu nyolok.

Jumat, 13 April 2012

Hari ini pulang rada cepet. Dan di hari terakhir gue masuk sekolah minggu ini, akhirnya gue ngeliat Re-. Rasanya gue harus cerita dari pertama gue hirup nafas hari ini. Pukul 00.00 dini hari, tapi takutnya kelamaan. Oke, gue nulis ini udah gemeteran abis, ampe salah-salah mulu.

Geng angkot yang sebagian besar adalah kelas sebelah hari ini ada susulan praktek kimia. Alhasil, gue nungguin anak geng yang dari kelas bawah. Dari gue nunggu udah berseliweran anak kelas 12. Dan ternyata kelas sebelah yang gue tungguin itu lagi dipake kakak kelas gatau buat apa. Parahnya, gue juga ga tau penghuninya kelas berapa. Dari jauh gue ngintip ke celah pintu yang terbuka. Gue melihat sosok mirip Re-, tapi gue rasa bukan. Waktu yang gue tunggu tiba. Anak-anak itu keluar dari kelasnya. Gue perhatiin ga ada Re-. Lalu gue mungkin keasikan ngobrol sampe ga tau dia lewat ato emang dia ga lewat. Pas mau balik, di depan meja piket Re- berdiri dengan sangat gagah. Gue anggep gagah, karena udah lama banget sejak terakhir gue ngeliat dia. Saking lamanya, kayanya dia udah potong rambut lagi deh. Soalnya kalo belom potong rambut, gamungkin rambutnya masih sependek itu. Ga perlu ditanya lagi, gue sangat senang. Meski itu ga lama banget. Kami perlahan berjalan keluar, begitu juga dengan dia. Tapi di meja piket dia berjalan terus, gue belok kiri. Di perjalanan keluar, di halangi teralis gue masih memandangi dia. Gue tahu itu sangat menyolok karena gue harus nengok abis ke kanan. Gue ga peduli. Ngeliatin dia maenin handuk merah di tangannya bikin gue meleleh. Berhubung cuaca panas, gua udah hampir menguap. Lalu gue duduk di depan kantin. Sebenernya dari tempat gue duduk bisa keliatan dari belakang meja piket tempat gue menduga Re- berdiri. Tapi di tengah sana, berdiri dengan tegap sebuah papan yang besar. Gue sangat kesal. Yah, kendalanya adalah teman-teman gue. Gue ga punya alasan yang kuat untuk mengajak mereka ke sana. Jadi gue pasrah. Pas anak-anak yang praktek udah balik, gue baru ada ide untuk ke toilet. Temen gue protes, kenapa ga dari tadi. Celingak-celinguk, Re- udah ga ada. Dari lapangan SMP terlihat anak-anak yang bukan kelas 10 bermain bola. Karena mata gue rabun jauh ya nasib. Gue baru menyadari kesalahan gue mengingat protesan teman gue tadi. Kalo gue dari tadi ke toiletnya, mungkin gue bisa ngelihat Re- lagi. Entah hoki apa gue bisa ngeliat dan ngikutin dia keluar. Atau gue bisa sekalian liat dia pulang naik apa. Bukannya matre, gue mau waspada. Kalo naek mobil gue apalin platnya. Kalo naek motor juga gue apalin. Meski itu motor tukang ojek. Bisa aja ojek langganan. Kalo dia naek angkot gue mau tau angkot apa. Begitu. Menyukai seseorang kan memang seperti itu.

Ketika tadi gue udah berjarak deket banget sama dia, tentu dekat di sini adalah <3m, mata gue yang ga lepas dari mata Re- ternyata tidak disadarinya. Ga sekalipun matanya ketemu ama gue. Dia yang ga sensitif atau dia yang uda tau tapi ga mau tau? Di satu sisi gue bersyukur karena berarti dia ga sedikitpun curiga dengan gua dan dia sama sekali ga kepikir tentang gue sebagai fan nya. Di sisi lain gue sedih karena dia secara total udah melupakan gue. Ini langsung gue rutuki. Rasanya lebih baik dia ga inget gue sama sekali, daripada dia inget tapi yang diinget yang jelek-jelek tentang gue. Gambaran buruk tentang diri gue.

Entah ini cuma rekonstruksi pikiran gue atau tidak, gue samar-samar ngelihat Re- menatap objek yang dekat dengan gue. Maksudnya dia kaya ampir ngeliat gue dan sekilas tampaknya begitu, tapi sebagai objek yang memperhatikan gue sadar kalau itu bukan gue. Apa temen gue yang jalan di depan gue? Dia adik dari kakak kelasnya yang mungkin masih tersisa dendam sebagai junior yang tersiksa.

Keliatan banget kalau gue tergila-gila sama Re-, setidaknya gue merasa seperti itu. Buat ngebahas penampakan Re- yang nyata setelah sekian lama itu gue menghabiskan sekitar 1 halaman a4 di Microsoft Word. Pada kenyataannya, kejadian ini berlangsung tidak sampai 5 menit. Paling 1-2 menit. Re- sendiri, mungkin ga sadar gue ada di sana. Mungkin ia hanya merasa ada yang memperhatikan, tapi tidak tahu itu aku. Atau ia tahu itu aku, tapi tidak peduli dan bahkan merasa risih dengan tindakanku. Bisa juga ketika gue nekat berdiri di depan dia, yang pertama keluar di otaknya ‘apa-apaan nih anak’ dengan segudang image buruk yang kokoh tentang gue, sebagai cewe jelek yang berani menyukai dia. Sadarkah, kalau gue berantakan menggunakan kata ganti orang 1? Kadang gue kadang aku. Dan ga keitung berapa kali gue mencet backspace karena nulisnya ganda-ganda. Rada gemeter, gue takut semua itu cuma halusinasi. Kacamata biru hitam itu bikin gue kaget saat mendapati dia ada di sana. Tasnya, handuk merahnya, rambut barunya..

Hampir 2 lembar. Gue yakin ini ga pantes di baca karena bosenin banget dan ga penting banget. Satu kalimat lagu Avril Lavigne – Wish You Were Here yang sangat gue banget. Damn, damn, damn, what I’d do to have you. Ga terlalu cocok banget sih. Soalnya selama ini usaha keras gue cuma sejauh bisa ngeliat dia.

Gue mendengar bahwa pasar musik Indonesia adalah lagu galau. Mungkin gue butuh beberapa di antaranya. Keinget, gue setel 4 lagu Ungu yang ada di komputer ini. Lagu satu, Tercipta Untukku. Kayanya bukan buat gue.

Lagu yang gue banget itu, bukan lagu tentang 2 orang yang berpartisipasi dalam aktivitas cinta. Tapi dari satu pihak yang sangat memuja yang lain. Dilemma Cinta juga bukan lagu gue.

Kekasih Gelapku, pas di awal lagu. Kumencintaimu, sedalam-dalam hatiku. Meski tiada satu orangpun yang tahu. Tapi ga pas banget juga sih. Oni udah tau.

Mungkin ini memang jalan takdirku. Mengagumi tanpa dicintai. Sangat. Gue banget.

Gue mimisan.

Ga banyak. Izinkan aku memeluk dirimu kali ini saja, ‘tuk ucapkan selamat tinggal untuk selamanya, dan biarkan rasa ini bahagia untuk sekejab saja. Kalau gue tau kapan gue mati, sehari sebelumnya gue akan mencari Re- untuk bisa melakukan seperti kata Pasha Ungu itu. Lalu gue mikir, betapa dia akan menyangka gue orang gila. Dateng-dateng meluk najis.

Daripada lagu galau, mungkin lebih tepat lagu Cinta Gila. Tahukah kau apa yang kau lakukan itu? Tahukah kau siksa diriku? Berkali ku nantikan jawaban darimu (kalo gue sih berkali ku nantikan kau bisa kulihat) berkali-kali ku menunggu.. Kau sangka, aku akan menyerah. Kau sangka, aku akan pasrah (gue yakin dia ga tau apa-apa) dirimu tak perdulikan aku (bener banget) setelah itu gue ga yakin lagi apa liriknya. Gue cari aman, daripada di gencet penulis lagu gue berhenti sampe sini aja.

Sep. 2 halaman. Re-, lihat ke sini! Eh, jangan deh. Gini aja. Re-, jangan jauh-jauh dari sini! Makasih banyak banget buat semua pihak yang udah mengizinkan gue melihat dia untuk yang terakhir kali selama 2 minggu ini. Segala harapan gue kembali panjatkan ketika dia udah kembali di Jakarta. Masa gue ngarep bisa ngeliat dia kalo dia masih di Jogja? Puasa 7 tahun juga kayangan bingung jawabnya.

Buat Re-, gue pasti doain agar UN nya berjalan lancar.

Gbu.

Kamis, 05 April 2012

sotoy


Senin, 2 April 2012

Ya, gue semakin meragukan Oni. Tadi guru Bahasa Indonesia ngebahas tentang pidato kakak kelas kemarin kan, katanya gerakan kaki yang di langkah ke-tiga mutar balik itu sangat baik untuk dilakukan di atas panggung. Gue nengok ke Oni sambil nutup mulut dengan tangan. Gerakan itu mirip dengan kelakuan Re- waktu dulu. Kami duga guru itu membicarakan Re-. Setelah kami mendesak siapa gerangan, guru menyebutkan bahwa ia sempat menjadi komandan upacara. Teman lain merespon lugas dengan menyebut “Re- ya, pak?” Lalu pak guru menyebutkan bahwa yang beliau maksud bukan Re-. Dan Re- dalam penampilan pidatonya kurang memuaskan. Sepanjang guru mengatakan itu semua, Oni dengan tidak santai memanggil-manggil gue. Perlu ditekankan kembali bahwa suara Oni itu berpotensi besar, dan ia menggunakan cukup banyak potensi itu. Jumlah anggota kelas yang tidak banyak meyakinkanku bahwa yang terpojok sekalipun mendengarnya. Lagipula kelas tengah diam mendengar ulasan guru jadi panggilan Oni pasti sangan mencolok. Oni, jangan terus bikin gue menyesal. Gue suka saat-saat kita tertawa diam-diam membicarakan Re-. Atau nge-goda gue dengan Re- tanpa seorangpun yang denger. Tapi bukan pengumuman Oni. Perlukan gue jujur? Gue cuma bakal lo cap sebagai seorang yang berlebihan dan ngambekan. Dan lo hibur gue dengan ga ada seorangpun yang nyadar. Woi. Gue itu selalu memposisikan diri menjadi orang lain. Ketika gue melihat kelakuan lo dalam diri orang lain, bahkan sekedar curiga itu uda muncul di otak gue. Tinggal 2-3 kejadian yang mendukung, gue bisa menyatakan sebuah fakta yang mereka bicarakan. Gue bahkan bingung mau marah atau nangis. Rasanya gue mau marah dan nangis di hadapan lo, supaya lo tau.

Rabu, 4 April 2012

Dari Selasa dan Rabu cukup banyak yang mau gue ceritain. Berhubung ingatan gue macem mas koki yang cuma 5 sekon, gue akan mencatat beberapa yang membekas.

Yul menceritakan mimpinya semalam. Dia cerita hari selasa. Dia mimpi bertemu artis pujaannya dan segala kisah cinta mereka berdua. Teman-teman menimpali, bahwa ketika kita memimpikan seseorang, maka seseorang itu sedang merindukan kita. Yang ini jauh dari logis, dan kalaupun memang ada kenyataan seperti itu, teori itu tidak bisa dilekatkan pada setiap individu. Tidak masuk akal bagi seorang merindukan orang yang tidak ia kenal. Yang lain menambahkan bahwa ketika kita memimpikan seseorang, arwah kita(pemimpi dan yang di impikan) tengah bermain bersama. Ini cukup bisa di terima. Yang jadi masalah ketika yang di impikan tidak memimpikan kita. Berarti terjadi perbedaan dan teori dikatakan gagal.

Kalau soal arwah yang bermain bersama memang belum pernah gue coba buktikan. Tapi gue asumsikan itu bener, berarti beberapa kali arwah gue bersama Re-. Di satu sisi gue kesenengan karena baru mimpi indah. Di sisi lain Re- yang terjaga sangat shok dengan apa yang ia impikan. Bersama seorang yang tidak ia kenal. Yah meski Re- yakin pernah melihat gue. Kalau dia ingat.

Tadi sekejap setelah bel istirahat kedua, Jae berangkat turun untuk memfotokopi tugas fisika sekelas. Gue dan Oni turut beranjak karena bosan. Gue mendengar risuh-risuh dari deket jendela memanggil “Oni mau kemana?”. Mata mereka juga memandang kami (Oni) tapi gue ga yakin dengan pendengaran gue. Jadi gue abaikan saja. Jika pendengaran gue ga salah, gue cukup tersinggung di sini, karena hanya Oni yang disebut. Gue mana? Rasanya semakin hari posisi gue semakin terpuruk dalam sosial. Salah gue apa? Gue sempet pengen marah, sekaligus sadar itu sama aja menangis minta teman. Boro-boro pacar. Temen aja susah. Gue bukan pengen jadi eksis. Cuma pengen bisa nyambung dengan semua cewek di kelas gue. Hahh.

Gue uda mastiin ke temen gue tentang kisah teman kami yang waktu itu menyukai kakak kelas. Gue rasa kalau gue buka di post yang dulu-dulu masih ada kisahnya. Kalo gue ceritain. Gue kaya tiba-tiba inget dari lupa atau gimana ga tau tentang salah seorang yang hampir membuat si pujaan tahu. Temen kami ini jalan di depan dan kami di belakang. Dari dekat sana, pujaan teman kami itu berdiri dan Oni ribut sendiri. Ea ea lah, cie cie segala macem. Temen kami itu malu dan hampir merasa kalau si pujaan menyadari perasaannya. Kalau saja gue inget itu semua sebelum memutuskan untuk cerita ke Oni, sampe sekarang Oni masih belum tau pasti. Waktu itu kan gue nyeritain ke Oni dalam rangka menyelamatkan hubungan kami. Gue ga mau jadi temen yang ngambekan, jadi gue gunakan rahasia itu untuk baikan. Seperti sesuatu yang klise, gue menyesal.

Gue sedikit banyak bingung dengan ranah musik Indonesia belakangan. Kelompok homogender yang berlomba menyanyi sambil menari. Gue menganggapnya sebagai pengaruh Korea yang tengah happening banget, bukan cuma Indonesia, karena Thailand, Singapore, sampai Perancis turut pula. Gue menikmati beberapa dari mereka, karena menarik. Tadi gue uda nulis panjang lebar tentang ini, tapi sadar gue ngelantur jauh dan bukan peran gue untuk mengomentari seperti itu. Jadi singkat aja, gue menyarankan sebagai pengamat cilik musik Indonesia. Dari kesimpulan yang gue tarik, boy/girlband Indonesia yang 'terinspirasi' Korea ataupun Barat cenderung meniru konsep penampilan dibanding jadwal latihan. Seperti yang gue bilang, gue menyimpulkan sesuka hati gue, jadi maap kalau ada yang tersinggung. 

Sesuatu yang gue percayai musik Korea punya, yang ga dimiliki Indonesia. Totalitas. Melakukan yang terbaik. Memberi yang terbaik. Bukan menerima yang terbanyak. 

Oke, selesai tulisan sotoy gue.