Jumat, 20 April 2012

UN


Rabu, 18 April 2012

Gue akan menceritakan yang terjadi hari Senin. Bukan gue ga punya waktu buat nulis, tapi perasaan gue ga cocok untuk menulis

Karena takut lupa, gue menulis intinya di note di ponsel gue. Acara di mulai dengan karaoke. Gue dari awal kurang setuju dengan ide ini. Karena menurut gue karaoke adalah saat melepaskan penat. Karaoke yang sebenarnya cuma pernah gue lakukan sekali, setelah UAS SMP lalu. Mungkin saat karaoke gue ga merasakannya, tapi keluar dari sana gue sadar gue udah salah. Gue ga seharusnya pergi karaoke bersama teman-teman anyar gue. Sebelumnya gue karaoke sama temen SMP yang udah satu sekolah dari SD. Ya, gue ga bisa mengendalikan diri gue di dalam sana. Menjadi orang gila seutuhnya. Anak-anak mungkin tidak menunjukkannya. Jika memang mereka tidak merasakannya, kemudian gue saja yang merasa ilfeel dengan diri gue sendiri. Tetep aja, gue merasa itu semua ga pantes gue lakukan.

Gue absen, yang ikut acara kemaren itu gue, Yul, Ani, seorang yang pernah gue ceritakan dulu, Cha, dan Anto. Dua anak lagi temen angkot yang hanya hadir waktu makan siang. Dari mana gue harus cerita? Oke. Kita janjian rada pagi, dan Yul tampak kesel kelamaan nungguin gue. Semua pertanyaan gue di anggap angin lalu meski itu ga terlalu ngaruh ke mood gue yang sedang baik. Lalu di karaoke, ya gitu. Di mall ‘taman’ kami bertemu Cha dan Anto. Kami ke atas untuk membeli tiket nonton bioskop. Gini nih kalo kelamaan kejadiannya, gue jadi males cerita detail. Yang pasti sepanjang jalan gue merasa di kerasi secara verbal. Mulai dari Yul yang menganggap gue jelek abis karena rambut gue di ikat. Jadi kaya cowok lah, apa lah. Gosip anak mantan SMP yang sekarang kami anggotai yang gue misheard sebagai Lee karena huruf vokal dan suku katanya sama, lalu gue dianggap memikirkan Lee terus. Anto juga bilang gue kaya cowo. Ibu-ibu yang tampak mirip dengan gue (ini bikin gue semakin mikir, tadi ada statement bahwa gue kaya cowo, kemudian gue mirip ibu-ibu yang baru keluar dari toilet. Anehnya, kedua pernyataan ini keluar dari mulut yang sama.). Lalu tertawa yang keras ketika mereka berhasil menangkap foto gue tanpa sepengetahuan siapapun (paparazzi) dengan gue yang berposisi seperti mau ngupil. Oke, fotonya emang tampak seperti itu. Gue bener-bener keliatan mau ngupil. Gue bingung, apa gue yang terlalu sensi atau mereka yang di luar batas. Cha, temen satu SMP dan SD juga tertawa keras di sebuah tempat nongkrong umum. Kenapa ini jadi masalah?

Gue baru mencari ke atas dan gue menemukan panggilan yang satu anak lagi, Lead. Kemarin-kemarin, dia tampak menyebalkan. Tapi hari Senin lalu, meski hanya waktu terakhir gue sangat terharu dengannya. Bukannya sepanjang jalan engga. Yul yang nempel-nempel Cha dan Anto, sementara Ani sering sibuk dengan BB nya. Cuma Lead yang paling nyaman gue tempelin selama di sana. Bahkan di penghujung, gue terpesona. Ceritanya kan udah gelap nih langit. Nyokap uda nelpon, karena gue ga pernah pulang dari mall sampe malem-malem. Jam segitu biasanya gue udah di rumah. Gue yang ga enak sama nyokap, menekatkan diri berkata kata keramat ‘pulang, yuk’ di tempat nongkrong tadi. Seperti dugaan gue, suasana langsung senyap. Entah mereka ga peduli atau ga denger. Soalnya mereka lanjut ke topik mereka. Lead, dengan besar hati membantu gue menyampaikan aspirasi tersebut. Dia sedikit meneteskan beberapa air di tengah hati gue yang hampir terbakar. Yang bikin gue terharu adalah Lead tidak membawa nama gue. Dia menyuarakannya seakan dialah yang berpikiran seperti itu. Bentar dulu cerita dinginnya, gue mau emosi. Cha, yang temen deket Anto waktu SD lalu berkata bahwa dia harus ke rumah Anto yang berupa apartemen dan berlokasi di samping mall itu sebagai tanggapan atas suara Lead tadi yang bermaksud menyatakan bahwa ‘gue bahkan harus pulang lebih malem dari lu’. Mungkin maksud dia ramah, gue ga peduli. Yang saat itu gue tangkep cuma emosi. Dia itu dianter sopir. Lagian rumahnya ga jauh dari sana. Sementara gue, Lead, dan Yul harus pulang naik taksi karena langit udah gelap banget. Anto sih enak tinggal nyebrang. Cha juga tinggal duduk nyaman di Innovanya. Gue kan harus waspada ngeliatin jalan di taksi. Takut disasarin bangkrut bisa. Mungkin mereka merasa terlalu sayang untuk mengakhiri hang out yang penuh kenangan. Tapi bagi gue, gue akan lebih berbahagia untuk segera pergi dari lingkungan yang membuat gue tertekan. Setelah ini, harusnya gue jadi jauh lebih kuat, tapi gue malah nulis ini sambil berkaca-kaca.

Sebenernya banyak hal yang ingin gue tulis, tapi mungkin bukan sekarang. Tentang lingkungan pergaulan gue. Setelah gue merasa mereka tampak seperti mem-bully gue, gue lalu sadar. Jika begini terus, mungkin ga lama lagi gue akan no friend. Sedikit lebih buruk dari pem-bully-an.

Kamis, 19 April 2012

Suasana saat gue menulis sekarang bener-bener panas, jadi gue memutuskan untuk internetan aja. Mood menulis waktu panas begini nol besar. Oh, ya. Hari ini Re- udah selesai UN nya. Jadi.. Selamat tinggal, sayonara, goodbye, annyeong, zai jian, de el el.

Akhirnya gue membuka tulisan ini lagi. Dari semua site kakak kelas mengenai Re- yang gue tau, ga ada satu yang baru. They must be too busy to update. Oh, gue mau nulis sesuatu. Tentang kata yang di tulis Re- dalam akun facebooknya. Menanggapi komentar temannya yang berkata bahwa ia ‘tumbuh banget’ ia menulis ‘i do metamorphosis, everyone do ;)’ (ini gue copas abis). Sebuah kata yang tepat untuk menjelaskan dari lembaran kertas yang pernah gue tulis. Gue inget, itu adalah hari terakhir di semester 1 dimana gue tidak melihatnya di kesempatan terakhir tahun 2011. Metamorfosis. Perubahan sedikit demi sedikit yang kemudian menjadi sesuatu yang benar-benar lain. Sebuah tindakan konkrit dari penyesalan. Berharap bisa hidup lebih baik lagi. Bukti bahwa manusia itu adalah makhluk progresif. Sebentar lagi, ketika peluang itu benar-benar hilang. Saat itulah gue akan mengisi tulisan ini segala tentang gue. Dan bukan dia.

9 Juni 2011. Ini bukan tentang gue di hari itu. Tapi Re- yang menggombal lewat status facebook, dimana seorang gadis yang gue kenali sebagai ‘pacarnya’ komentar di sana.

Jadi dia baru bikin twitter 10 Maret 2010. Tanggal 1 Januari 2012 dia sudah punya blackberry. Dia bahkan menulis jelas pin blackberrynya di statusnya. Gue yang ga punya bb jadi mikir pengen beli. Tapi gue juga ga bodoh, gue ga mungkin nekat nge-add dia. Segila-gilanya gue, gue akan sebatas nge-add dan menerima update dia. Ga bakal gue ajak chat. Bodohnya, sebuah resiko muncul, bahwa dia ga bakal accept gue sebagai friend bb, secara gue ga kenal.

Ternyata, tanggal 12 Januari provider yang digunakan Re- sama dengan gue.

Jumat, 20 April 2012

Untuk mempersiapkan acara besok, kami kelas 10 dan 11 agak ‘dipaksa’ masuk sekolah. Karena bagi gue setelah UN itu kesempatan sudah hilang, gue ga ada semangat untuk bermimpi gue akan bertemu dia. Gue juga berniat bolos. Meski akhirnya gue masuk juga.

Di perjalanan keluar, gue lagi sibuk ngeliat hp karena membaca sms yang masuk. Gue sadar 2 orang lelaki berseragam sekolah hari Kamis lewat di samping gue, lalu gue merasa Oni nyenggol sikut gue.

“Hah? Apa?”

“Tuh,”sambil menodongkan dagunya.

“Wuaaaa!”

Kira-kira begitu isi percakapan gue dengan Oni. Yang gue liat cuma punggung dengan baju kasual cukup berwarna (yang gue inget ada kuningnya) di pintu ruang serbaguna.

“Kok lu baru ngasih tau gue sekarang?!” kata gue rada kesel.

“Gue juga baru tau,” Lalu tanpa ada kekuatan untuk menahan diri gue kegirangan di depan Oni. Biarin. Selama perjalanan ke mobil seorang teman, Oni bahkan mengatakan hal tepat yang ku inginkan.

“Mau balik ya?”dengan seringainya aku ingin tertawa sambil menangis. Tertawa karena rasanya panas dan sedikit gemetar, tapi menangis karena ga tau kapan bisa melihat lagi. Mungkin dia dateng untuk sekedarnya aja main-main. Secara dia orang aktif di sekolah. Tapi ga mungkin setiap hari kan. Lama-lama juga dia bosan main di sekolah dan memutuskan untuk berjalan kemanapun ia mau. Minggu depan kemungkinan melihat dia itu 0% karena dia akan ke Jogja. Kecuali lewat jejaring sosial. Mungkin gue masih bisa cuci mata.

Pulang dari rumah temen, gue di jemput kakak gue. Temen-temen yang lagi di ruangan yang sama tentu basa-basi dengan bertanya, ‘lu di jemput siapa?’. ‘Kakak gue’ ‘Kakak kandung apa kakak impian?’. Gila. Rasanya gue ga pernah di jemput orang selain orang tua, kakak, dan seluruh anggota keluarga. Paling zaman dulu, punya seseorang yang sesekali bisa ngegantiin keluarga jemput gue kalo pada ga sempet. Gue sih ga jawab apa-apa. Di perjalanan gue baru mikir jawaban yang sangat menceritakan gue banget. ‘Kakak impian gue ga kenal sama gue’. Wow, seorang pemuja rahasia. Pecinta sepihak yang sangat merana. Seorang yang ga pernah terlintas di kepala si dia. Anggota fan(s) clubnya.

Tentang teman-teman seangkutan, gue menangkap kesan negatif yang basi banget. Membicarakan seorang dalam kurun waktu tertentu. Mengatakan semua kejelekan tentangnya dan segala perbuatan yang dianggap menyebalkan. Bahkan langkah kakinya pun dianggap salah. Kalian mengerti? Ketika semua yang dilakukan orang itu salah. Bila ia bertanya, ‘apa yang kalian lakukan’ maka akan dibilang ikut campur banget. Tapi bila ia diam saja maka akan dikatakan, ‘tidak peduli’,’cuek’, dll. Kebencian yang berlebihan dan tidak sehat. Subjektif. Waktu itu seorang teman dari SMP. Sekarang As. Akan ada saatnya, gue di posisi mereka.

Menulis kisah sehari seperti ini sebenarnya tidak sekedar meluapkan perasaanmu. Tapi membuatmu kembali merasakannya. Kalo ga, kenapa gue bisa menangis saat menulis? Sama seperti ketika kita curhat dengan teman. Bedanya, temanku adalah keyboard komputer.

Gue akan menulis sesuatu yang sempat terlintas di otak gue. Teman gue, yang kakaknya merupakan kakak kelas Re- dengan Re-. Ini si Dee. Beberapa cerita tentang Re- gue denger dari dia. Ga keitung cerita dia yang menyebut-nyebut Re-, entah memang nyambung atau cuma asal ngoceh. Dan seperti cerita gue Jumat lalu, Re- memandang sesuatu di dekat gue. Saat itu Dee berjalan di depan gue. Selama ini yang kepikiran di gue hanya bahwa Dee juga menyukai Re-, atau setidaknya memiliki simpati. Tapi melihat tingkah Re-.. Berbagai kemungkinan menghasilkan kecurigaan. Jika yang ia lihat memang Dee, bukan tidak mungkin Re- merasakan hal yang sama denganku, bedanya bukan kepadaku tapi kepada Dee. Gue ga berani membayangkan scenario terburuk bahwa Re- jadian dengan Dee. Entah apa yang akan Yul katakan. Apalagi Oni. Pasti dengan muka sangat berat ia menghibur dengan berkata semua baik-baik saja. Tapi gue pasti tetep tersenyum mendengar berita itu. Meraung-raungnya di rumah aja.