Selasa, 27 Desember 2011

Lilin Hitam (lanjutan)

            “Rumah lo deket sini?”
            “Eh ? Oh, iya. Tuh, yang sono,” tunjukku ke mana-mana.
            Mulutnya membentuk huruf “o” lalu membuka gerbang rumahnya.
            “Eh, tunggu,”
            “Apa?”
            “Gue mau ngomong,”
            “Mandi dulu, bau.” Aku tidak bergeming.
            “Oke, rumah lu jauuuh banget dari sini,” katanya sambil memutar 2 bola mata yang berada di bawah alis hitam kelam itu.
            “Sori ya, tadi lo dihukum karena gw.”
            “Maaf di terima,”
            “Makasih,”
            “Sama-sama. Hati-hati di jalan ya,” katanya sambil menutup gerbang.
            “Eeh. Gw ga boleh masuk nih ?”
            “Ngga.” Diam.
            “Hahaha. Iya masuk deh,” Ia membuka pintu lebar. Aku tersenyum.
            “Mau minum apa?”
            “Es teh panas.” Aku melihat-lihat ruang tamunya. Semuanya terlihat biasa. Kecuali sekotak Chupa Cups. Satu kotak penuh.
            “Lo suka Chupa cups ya?”
            “Iya. Lo ?”
            “Hm. Lumayan.” Aku meminum teh panas ber es itu. Auh!
**
            Senja terasa hangat. Terutama untuk aku dan dia. Tampak dia tidak mahir bermain basket, tapi usahanya sangat bagus. Permainan sangat menyenangkan. Di lapangan dekat rumahnya kami duduk menatap langit yang menjingga.
            “Ortu belom pulang?”
            “Lagi keluar kota. Besok atau lusa. Ga tau deh.” Aku mengangguk-angguk. Rumahnya memang tidak terlalu besar. Tapi pasti terlalu besar untuknya sendiri. Kamipun pulang sebelum gelap. Aku baru akan beranjak pulang ketika tiba-tiba listrik rumahnya padam. Tanpa pikir panjang aku berlari kembali memasuki rumah dan mencari gadis itu. Ia sedang berdiri bingung ketika aku datang. Aku memegang tangannya dan dengan penerangan ponsel aku mencari lilin di atas lemari es lalu menyalakannya dari kompor. Nafasnya mulai teratur ketika lilin bersinar. Aku mengambil sekitar 3 lilin lagi lalu membawa semuanya ke teras.
            Jarum pendek menunjuk angka delapan. Tapi listrik belum juga hidup. Dengan lilin di antara kami, tak ada sedikitpun pembicaraan sejak pamit sore tadi. Ia tidak tampak ingin bicara dan aku pun menikmatinya. Yang terdengar hanya tangan yang sibuk memukul nyamuk dan menggaruk yang tergigit. Serta nafas ku dan nafasnya.
            “Gw ga suka gelap waktu sendirian,” akunya.
            “Ng.”
            “Lo tau?”
            “Engga,” Aku benar-benar tidak tahu. Bagaimana aku bisa tahu dia takut sendirian di kegelapan ketika aku tidak tahu? Mengapa semua yang terjadi beberapa jam terakhir ini hanya seperti video lama yang di playback. Aku menghadap langit dan mengulang pertanyaan dalam hati. Berharap mendapat jawaban.
            Listrik hidup sekitar pukul 8.30. Perlahan-lahan wajah pucatnya tergantikan oleh rona merah. Dia memberikanku Chupa cups lagi sebelum pulang. Selalu rasa strawberry, rasa kesukaanku. Dan dia rasa blackberry, rasa kesukaannya.
**
            Pagi yang baru, sama seperti yang terjadi di kantin. Dia bersikap terlalu biasa. Wajah tanpa ekspresi. Apa yang dia pikirkan, siapa yang dia pikirkan, aku ingin tahu.
**
            “Dasar maling! Lo taro mana hape gue ?!”
            “Bukan gue, Viny. Gue ga tau.”
            “Bohong! Siapa lagi. Yang terakhir di kelas elo kan?!”
            “Iya, tapi gue ga ngambil apapun selain barang gue.”
            “Ada bukti ga?! Buktiin dong kalo bukan lo!”
            “Kalo lo juga ga ada bukti jangan nuduh gue dulu dong!” Aku berdiri disana, dan Viny mengharapkanku membelanya.
            “Kak Rio! Dia ngambil hape ku ga mau ngaku!” Dia diam.
            “Cie Mario.. suit..suit..” Nona-yang-aku-tidak-tahu-namanya itu melongo.
            “Mario.. Hermawan..?” Dia tahu nama lengkapku!
            “Heh, sopan banget lo manggil kakak kelas nama doang! Dasar maling ga sopan!” Viny menampar gadis itu. Gadis itu cuma diam tanpa berniat membalas.
            “Viny!”
            “Kak Mario! Kamu belain siapa sih!”
            “Viny, ja..”
            “Aku suka sama Kak Mario!” teriaknya keras. Anak-anak semakin heboh. Viny menunduk lalu berlari menerobos massa menuju toilet. Aku terpana. Si cantik itu menangis. Lalu semakin terpana ketika si lilin hitam ikut ke toilet. Sepertinya dia berniat membantuku atau dengan kata lain menjemput masalah.
            Aku mengejar ke toilet wanita dan menunggu di luar dengan cemas. Tak jauh dari dugaanku, terdengar bunyi air dan teriakan Viny. Sepertinya Viny menyadari bahwa mataku tak lagi hanya menatapnya. Dan semua itu di sadap oleh gadis yang bahkan belum ku tahu namanya. Viny yang selalu mendapat predikat cantik dan populer dimana-mana, kali ini kalah dengan pecundang freak. Bukan di sekolah, tapi di hatiku.
             Gadis itu keluar dengan sedikit cipratan air di seragam putihnya. Tampaknya dia berhasil menghindar. Seorang anak datang memberitahu Viny bahwa ada yang menemukan ponselnya terjatuh di dekat lapangan. Viny terisak melihat jawaban pernyataannya di mataku. Aku menolaknya.
            Dengan sukarela aku mengantarkan Viny sampai kamarnya. Orang tuanya tampak aneh menerimaku di rumahnya, jadi aku langsung pamit saja. Yang sejelas-jelasnya sudah kukatakan pada Viny. Dia tidak terlihat memiliki hati yang besar. Aku akan membantunya dengan tidak bermesraan dengan wanita lain di depannya. Setidaknya dia adik kelas favoritku yang cantik, meski sekarang yang kucintai si pengecut.
            Di luar, tanganku menangkap sesuatu dari kantong celana. Pembatas buku hitam itu. Dimana gadis itu sekarang. Aku harus menanyakan namanya dengan alasan pembatas buku ini. Hehehe. Jadilah aku duduk disini, menunggunya pulang.
            Tiba-tiba aku tersadar oleh tetes hujan, hari hampir gelap. Rupanya aku terlelap sebentar. Apa dia belum pulang? Tak lama hujan deras turun. Lalu bayangannya berjalan ke arah ku. Tak sabar aku menghampirinya.
            “Hei.” Aku memayungi wajahnya dengan tanganku, lalu mengikatkan tali sepatunya yang lepas.
            “Kali ini aku ikatkan tali sepatu mu, tapi nanti, kau harus mengikatnya sendiri. Siapa nama mu?”
            “Raina.”
            “Raina yang baik..” Sekonyong-konyong aku sadar aku pernah mengucapkan kalimat itu sama persis. 10 tahun yang lalu. Saat ia terjatuh di tengah permainannya karena tidak bisa mengikat tali sepatu lalu sendirian kala listrik padam. Semua titik-titik kosong kini terjawab sudah. Setelah sewindu 2 tahun kami terpisah, kami tidak akan pernah lagi melakukannya. Terlalu menyakitkan.

**THE END**