“Eh ? Oh, iya. Tuh, yang sono,”
tunjukku ke mana-mana.
Mulutnya membentuk huruf “o” lalu
membuka gerbang rumahnya.
“Eh, tunggu,”
“Gue mau ngomong,”
“Mandi dulu, bau.” Aku tidak
bergeming.
“Oke, rumah lu jauuuh banget dari
sini,” katanya sambil memutar 2 bola mata yang berada di bawah alis hitam kelam
itu.
“Sori ya, tadi lo dihukum karena
gw.”
“Maaf di terima,”
“Makasih,”
“Sama-sama. Hati-hati di jalan ya,”
katanya sambil menutup gerbang.
“Eeh. Gw ga boleh masuk nih ?”
“Ngga.” Diam.
“Hahaha. Iya masuk deh,” Ia membuka
pintu lebar. Aku tersenyum.
“Mau minum apa?”
“Es teh panas.” Aku melihat-lihat
ruang tamunya. Semuanya terlihat biasa. Kecuali sekotak Chupa Cups. Satu kotak
penuh.
“Lo suka Chupa cups ya?”
“Iya. Lo ?”
“Hm. Lumayan.” Aku meminum teh panas
ber es itu. Auh!
**
Senja terasa hangat. Terutama untuk aku
dan dia. Tampak dia tidak mahir bermain basket, tapi usahanya sangat bagus.
Permainan sangat menyenangkan. Di lapangan dekat rumahnya kami duduk menatap langit
yang menjingga.
“Ortu belom pulang?”
“Lagi keluar kota. Besok atau lusa.
Ga tau deh.” Aku mengangguk-angguk. Rumahnya memang tidak terlalu besar. Tapi
pasti terlalu besar untuknya sendiri. Kamipun pulang sebelum gelap. Aku baru
akan beranjak pulang ketika tiba-tiba listrik rumahnya padam. Tanpa pikir
panjang aku berlari kembali memasuki rumah dan mencari gadis itu. Ia sedang
berdiri bingung ketika aku datang. Aku memegang tangannya dan dengan penerangan
ponsel aku mencari lilin di atas lemari es lalu menyalakannya dari kompor.
Nafasnya mulai teratur ketika lilin bersinar. Aku mengambil sekitar 3 lilin
lagi lalu membawa semuanya ke teras.
Jarum pendek menunjuk angka delapan.
Tapi listrik belum juga hidup. Dengan lilin di antara kami, tak ada sedikitpun
pembicaraan sejak pamit sore tadi. Ia tidak tampak ingin bicara dan aku pun
menikmatinya. Yang terdengar hanya tangan yang sibuk memukul nyamuk dan
menggaruk yang tergigit. Serta nafas ku dan nafasnya.
“Gw ga suka gelap waktu sendirian,”
akunya.
“Ng.”
“Lo tau?”
“Engga,” Aku benar-benar tidak tahu.
Bagaimana aku bisa tahu dia takut sendirian di kegelapan ketika aku tidak tahu?
Mengapa semua yang terjadi beberapa jam terakhir ini hanya seperti video lama yang
di playback. Aku menghadap langit dan mengulang pertanyaan dalam hati. Berharap
mendapat jawaban.
Listrik hidup sekitar pukul 8.30.
Perlahan-lahan wajah pucatnya tergantikan oleh rona merah. Dia memberikanku
Chupa cups lagi sebelum pulang. Selalu rasa strawberry, rasa kesukaanku. Dan
dia rasa blackberry, rasa kesukaannya.
**
Pagi yang baru, sama seperti yang
terjadi di kantin. Dia bersikap terlalu biasa. Wajah tanpa ekspresi. Apa yang
dia pikirkan, siapa yang dia pikirkan, aku ingin tahu.
**
“Dasar maling! Lo taro mana hape gue
?!”
“Bukan gue, Viny. Gue ga tau.”
“Bohong! Siapa lagi. Yang terakhir
di kelas elo kan?!”
“Iya, tapi gue ga ngambil apapun
selain barang gue.”
“Ada bukti ga?! Buktiin dong kalo
bukan lo!”
“Kalo lo juga ga ada bukti jangan
nuduh gue dulu dong!” Aku berdiri disana, dan Viny mengharapkanku membelanya.
“Kak Rio! Dia ngambil hape ku ga mau
ngaku!” Dia diam.
“Cie Mario.. suit..suit..” Nona-yang-aku-tidak-tahu-namanya
itu melongo.
“Mario.. Hermawan..?” Dia tahu nama
lengkapku!
“Heh, sopan banget lo manggil kakak
kelas nama doang! Dasar maling ga sopan!” Viny menampar gadis itu. Gadis itu
cuma diam tanpa berniat membalas.
“Viny!”
“Kak Mario! Kamu belain siapa sih!”
“Viny, ja..”
“Aku suka sama Kak Mario!” teriaknya
keras. Anak-anak semakin heboh. Viny menunduk lalu berlari menerobos massa
menuju toilet. Aku terpana. Si cantik itu menangis. Lalu semakin terpana ketika
si lilin hitam ikut ke toilet. Sepertinya dia berniat membantuku atau dengan
kata lain menjemput masalah.
Aku mengejar ke toilet wanita dan
menunggu di luar dengan cemas. Tak jauh dari dugaanku, terdengar bunyi air dan
teriakan Viny. Sepertinya Viny menyadari bahwa mataku tak lagi hanya
menatapnya. Dan semua itu di sadap oleh gadis yang bahkan belum ku tahu namanya.
Viny yang selalu mendapat predikat cantik dan populer dimana-mana, kali ini
kalah dengan pecundang freak. Bukan
di sekolah, tapi di hatiku.
Gadis itu keluar dengan sedikit cipratan air
di seragam putihnya. Tampaknya dia berhasil menghindar. Seorang anak datang
memberitahu Viny bahwa ada yang menemukan ponselnya terjatuh di dekat lapangan.
Viny terisak melihat jawaban pernyataannya di mataku. Aku menolaknya.
Dengan sukarela aku mengantarkan
Viny sampai kamarnya. Orang tuanya tampak aneh menerimaku di rumahnya, jadi aku
langsung pamit saja. Yang sejelas-jelasnya sudah kukatakan pada Viny. Dia tidak
terlihat memiliki hati yang besar. Aku akan membantunya dengan tidak bermesraan
dengan wanita lain di depannya. Setidaknya dia adik kelas favoritku yang cantik,
meski sekarang yang kucintai si pengecut.
Di luar, tanganku menangkap sesuatu
dari kantong celana. Pembatas buku hitam itu. Dimana gadis itu sekarang. Aku
harus menanyakan namanya dengan alasan pembatas buku ini. Hehehe. Jadilah aku
duduk disini, menunggunya pulang.
Tiba-tiba aku tersadar oleh tetes
hujan, hari hampir gelap. Rupanya aku terlelap sebentar. Apa dia belum pulang?
Tak lama hujan deras turun. Lalu bayangannya berjalan ke arah ku. Tak sabar aku
menghampirinya.
“Hei.” Aku memayungi wajahnya dengan
tanganku, lalu mengikatkan tali sepatunya yang lepas.
“Kali ini aku ikatkan tali sepatu
mu, tapi nanti, kau harus mengikatnya sendiri. Siapa nama mu?”
“Raina.”
“Raina yang baik..”
Sekonyong-konyong aku sadar aku pernah mengucapkan kalimat itu sama persis. 10
tahun yang lalu. Saat ia terjatuh di tengah permainannya karena tidak bisa
mengikat tali sepatu lalu sendirian kala listrik padam. Semua titik-titik
kosong kini terjawab sudah. Setelah sewindu 2 tahun kami terpisah, kami tidak
akan pernah lagi melakukannya. Terlalu menyakitkan.
**THE END**