Sabtu, 17 Desember 2011

11-11-2011

(maaf, terlambat sehari)

Jumat, 11 November 2011

Hari ini kakak tercintaku berulang tahun yang ke-20.  Sayangnya, setelah pagi itu ke sekolah, aku tidak bisa pulang ke rumah karena acara wajib. Perkemahan Jumat-Sabtu. Menyedihkan sekali. Hari Jumat yang penuh olahraga jantung.

Dimulai di pagi,
pelajaran Inggris. Karena jam pelajaran yang dipotong dan rapat guru, aku tidak mempersiapkan bahan untuk presentasi. Ternyata, pelajaran Inggris tetap berlangsung dibimbing guru dari SMP dan presentasi tetap dinilai. Hanya tinggal menunggu giliran dan aku tidak memegang bahan untuk di presentasikan. Menit – menit berlangsung lebih lama. Beruntungnya, aku tidak mendapat giliran. Itu sport jantung pertama.

Usai pelajaran, kami mendirikan tenda untuk berkemah. Lalu dilanjutkan games. Aku melawan kelompok dari kelas bawah. Sebagian permainan sama dengan MOS dulu. Juga permainan yang paling ku benci itu, dimana kami mem-bumi atau dalam bahasa Malaysia “bersetubuh dengan bumi”. Kami merayap di lapangan berumput yang disirami air. Selesai bermain kami mandi, lalu ada selang waktu sekitar setengah jam untuk mempersiapkan pentas seni. Pensi ini sebenarnya sudah di beri tahu sejak hari senin, tapi belum ada gerak pasti. Kami satu sanggah dipasangkan dengan sanggah pria yang di-anggotai 3 cowok basket yang tinggi nan eksis serta 4 lainnya. Bukan itu masalahnya. Kami dengan mereka bukan teman sepermainan, menyebabkan canggung dalam berkomunikasi. Pentas seni itu baru mulai dibicarakan di hari-H. Di jam pertama dan kedua pagi itu. Guru pengampu kami sedang berduka karena suaminya dipanggil (turut berduka cita ya, Bu) sehingga kami memanfaatkan waktu kosong untuk membahas pentas seni. Kami ditugaskan untuk menampilkan drama. Aku bisa dibilang hanya sebagai penggembira, karena tidak berguna dalam pembuatan cerita drama. Seingatku aku menyampaikan satu ide, yang bahkan aku sudah lupa apa itu.

Drama ini diselingi oleh rayuan gombal menjijikkan, seperti :”Coba putar badan deh. Lagi, lagi.”, “Emang kenapa, sih ?”, “Engga, aku bingung, bidadari secantik kamu kok ga ada sayapnya,”. Dan dua macam yang lainnya yang diberikan kepada para selingkuhan. Ya, drama ini mengandung unsur perselingkuhan. Belum lagi anak basket nan populer yang dipasangkan denganku bertingkah berlebihan dengan duduk di sebelahku atau menatapku sambil berkata rambutku yang cantik atau apalah itu. Aku ingin tertawa geli namun tidak bisa karena grogi. Tidak bisa ku bayangkan betapa malunya tampil di terangi lampu sorot serta api unggun di tengah lapangan disaksikan ratusan pasang mata. Itu olahraga jantung yang kedua. Disaat aku seharusnya menatap mata lawan mainku, aku terpaksa membuang muka karena tidak tahan membalas tatapannya yang menurutku terlalu tajam.

Sekitar pukul 10 malam, dilanjutkan acara jurit malam. Para peserta wanita dipasangkan dengan peserta pria untuk berjalan di sekolah dengan penerangan lilin yang akan mati di tengah jalan karena kencangnya angin berhembus. Penasaran dan takut ku alami menunggu saat dipanggil. Aku baru dipanggil sekitar pukul 01.00 malam. Mungkin karena sudah terlalu malam, tugas-tugas dan upaya menakut-nakuti kami dikurangi untuk mempercepat selesainya acara. Aku hanya dikejutkan 2 kali dengan senter yang di arahkan ke atas melewati wajah. Ketakutanku selesai disana.

Sport jantungku yang ketiga sebenarnya sudah termasuk ditanggal 12 November. Tapi agar lebih dramatis, kusebut saja sekalian.

Semua yang kutakutkan hari itu berakhir baik. Tidak mendapat giliran presentasi, drama berjalan lancar, dan jurit malam tidak sengeri yang kubayangkan. Kubilang drama lancar dalam konteks bahwa kedua sanggah pemain drama membawa kemenangan. Padahal sanggah yang ku anggotai kalah dalam games yang masuk perhitungan terbaik tidaknya.

Karena kesibukan menceritakan, aku kelewatan satu kejadian. Siang itu, aku berdiri di depan tenda saat anak-anak kelas 12 keluar untuk pulang. Re- di sana berteriak keras “INDONESIA” seperti saat acara bulu tangkis Thomas Uber Cup. Aku terpana, tapi temanku menyadari keberadaannya dan sepertinya tahu mataku melekat pada Re-.

Biasanya, saat-saat aku memandangnya menjadi saat yang besar hari itu. Tapi tidak kali ini. Jumat ini terlalu sesak dengan kenangan seakan ia akan terlempar tanpa mendapat bagian di otakku.