Jumat, 06 Januari 2012

Today


Jumat. 6 Januari 2012

Terhitung dari hari Rabu, sudah 3 hari aku masuk sekolah. Bukannya tidak masuk,
tanpa melihatnya aku tidak tahu harus menulis apa. Kesendirianku yang menyedihkan saat Oni tidak masuk? Ia membuatku merasakan kesendirian yang lebih menyedihkan dibanding bersamanya. Begini. Dari 14 anak perempuan di kelasku, hanya 4 yang berasal dari luar SMP yang berpapan nama sama dengan SMA yang ku datangi 5 kali seminggu. Selain aku dan Oni, kedua anak baru adalah anak populer. Mereka cantik dan yang satu memiliki kakak di sekolah yang sama. Kesepuluh perempuan yang lain berasal dari SMP yang sama, dan kebetulan sekelas sejak kelas 9. Aku ragu itu kebetulan.

Pagi ini seluruh siswa berpartisipasi dalam acara Go Green. Berbekal sarung tangan plastik setiap kelas diberi spesifikasi lokasi lewat radio sekolah. 10 A di depan kantin, 12 IPA II di lapangan rumput SMA. Dari depan kantin aku mendengar suara Re-. Kebetulan kedua tempat berdekatan, membuatku bersyukur dalam hati. Meski sampai acara berakhir aku tidak juga menangkap bayangannya.

Lalu ketika pulang, kami segerombol berdiri di depan loket pembayaran uang sekolah, menunggu seorang kawan keluar dari kelasnya. Aku mencari muka Re- di setiap anak yang lewat di sana, tapi tidak ada. Sekali waktu aku mengengok ke kanan, tempat parkiran motor dan sepeda siswa. Re- di sana dengan pandangan lurus ke depan, arah loket pembayaran uang sekolah, atau jam 9 dari pandangan ke depanku. Awalnya aku tidak menyadarinya. Tidak seperti yang lalu-lalu, otakku lebih lamban memproses bahwa sosok itu adalah Re-. Aku melihatnya seperti aku melihat yang lain, sembarang lewat di pandanganku. Setelah sadar itu Re- lekas aku menengok kembali ke arahnya, seakan tidak percaya dapat melihatnya. Ku akui ia tampak berbeda. Entah lebih tinggi atau lebih kurus. Wajahnya juga. Atau rambutnya sudah tidak terlalu tampak detail modelnya setelah 2 minggu jadi tampak lain? Yang pasti setelah dia keluar dari parkiran, aku mencari sudut pandang baru dengan bergeser ke kiri sedikit serong kanan. Jadi searah dengan jam 12 dari bapak di loket pembayaran SPP. Sementara yang lain sibuk bercerita tentang hasil ulangan yang buruk, aku tanpa suara memperhatikan yang lain.

Usai obrolan singkat, kami berjalan perlahan keluar. Aku berusaha mengingat persisnya, tapi nihil. Yang terbayang di otakku adalah Re- yang berdiri di depan pembatas parkir dan aku di depan gerbang SD. Ia dengan dirinya yang menurutku berbeda, sampai hampir tidak mengenalinya lagi. 2 minggu terlalu singkat untuk perubahan sebesar itu. Apa dia operasi plastik?!

Seandainya aku bisa menggandakan rohku, yang satu di tubuhku sementara yang lain berkeliaran di luar. Aku harap aku bisa melihat Re- pulang. Dengan apa, siapa, kemana, dll. Apa merk mobilnya, nomor mobil jemputannya, tempat tinggalnya, apapun itu. Tapi sudahlah. Sudahi pikiran aneh itu. Aku harus berhati-hati agar tidak ada yang tahu.

Tadi kusebut 10 anak perempuan kelasku sudah bersama sejak kelas 9 kan? Baru kudengar dari mulut satu dari mereka, yang menjadi teman sebangkuku menggantikan Oni kalau mereka bersembilan membuat geng. Ia mengatakan itu pelan saat disinggung oleh pembimbing bina konseling tentang kelompok anak di kelas. Kupikir kelas ini netral. Kelas yang lebih sunyi dibanding tetangga maupun kelas bawah. Yang mau kubahas di sini adalah Ema (nama samaran)

Ema terobsesi menjadi model. Tubuhnya langsing, tingginya cukup sampai masuk 10 besar finalis sebuah ajang pencari bakat yang diselenggarakan salah satu majalah remaja yang cukup terkenal dan disiarkan secara langsung di sebuah stasiun TV swasta. Wajahnya cantik dan rambutnya terlihat halus terjuntai ke bawah. Sikapnya sedikit kekanak-kanakan, membuatnya terkesan imut. Kesan pertamaku baik, ia mau tidak sungkan memulai pembicaraan denganku yang terhitung asing. Intinya, tidak masalah. Tapi lambat-laun terasa juga. Kepayahanku untuk bersosialisasi membuatku berteman dengan Jae(nama samara) yang juga tidak banyak kawan akrab. Jae orang yang baik dan asik. Tapi ia agak dijauhi 9 orang itu. Kalian pasti tahu keadaannya. Objek ejekan yang hanya akan menerima suara ramah dari subjek bila membutuhkan sesuatu. Aku tidak bilang aku jauh dari subjek itu. Aku belajar untuk tidak mengejek sekalipun dalam hati, karena saat aku menurunkan nada suaraku pada seseorang yang kemarin aku ejek aku merasa malu. Rasa bersalah sangat besar, membuatku memilih menjauh bila tidak sangat terpaksa membutuhkan. Misalnya aku mengatakan seseorang buruk, padahal belum pernah berbicara dengannya. Saat dekatpun terasa canggung. Tapi Ema tidak. Aku bertanya kepada Jae, “Dia jahat ya?” lalu Jae berkata, “Dia suka ngerendahin orang,” aku tersentak. Memang tingkahnya membuatnya tidak terlalu mengherankan. Tapi yang dia katakan membuatku berpikir yang tidak-tidak. Aku merasa marah padanya. Apa kau merasa cantik? Tinggi dan menarik? Lalu kau merasa memiliki segalanya? Sangat berkuasa dan sempurna? Manusia akan menolak semua pertanyaan ini. Tidak, tidak, tidak. Sebelum evaluasi diri, rendahkan dulu dirimu. Tidak ada orang hebat yang sombong. Karena ketika ia sombong, ia menjadi rendah. Bila meminjam kata kelas, sombong adalah kelas pengemis. Pengemis pujian. Pujian dalam bentuk apapun, baik kata, sikap, tatapan mata. Seperti padi yang semakin berisi semakin merunduk. Orang yang pintar seharusnya tidak sombong, karena dia pintar. Seperti kata orang, orang yang miskin adalah orang yang kaya akan keinginan, sementara orang yang kaya adalah orang yang miskin akan keinginan. Logikanya, orang yang tidak memiliki keinginan sudah kaya kan? Mengapa banyak orang lelah menjalani hidup? Mereka terlalu banyak memikul keinginan. Keinginan timbul lewat apa yang manusia anggap bernilai. Tapi Ema, apa yang kau anggap bernilai? Tubuh indahmu? Wajah cantikmu? Lalu menganggap Jae yang tidak memiliki semua itu sampah? Mengapa manusia terpaku kepada apa yang dapat terlihat? Tidakkah sekalipun kau merasa aneh? Bila rupa memang bernilai, bukankah tidak adil bagi Jae yang terlahir tanpa memiliki apa yang dunia anggap bernilai? Lalu dengan Ema? Mengapa ia harus dipuja pada sesuatu yang bukan miliknya? Mengapa kau bilang keindahan Ema miliknya? Ia hanya merawat apa yang diberikan. Ia memang telah merawat dengan sangat baik, sehingga hasilnya baik. Lalu bagaimana dengan ku? Tidak ada perbedaan antara aku dan Jae. Mungkin itulah sebabku membelanya. Aku meluapkan lewat contoh yang segar. Maaf Ema, mungkin kau tidak seburuk ini. Tapi teman-temanmu di luar sana. Orang yang tidak memanusiakan manusia bukan manusia, kan? Sebenarnya tanpa evaluasi diri pun manusia akan sendirinya berubah. Keledai saja tidak akan jatuh 2 kali di lubang yang sama. Kadang manusia perlu “jatuh” baru mau belajar. Ini teguranku pada dunia. (Duile, sombong banget wkwk. Cuma esmosi nih, ada yang ladenin sukur ga yah uda. T.T)

Quote : “Orang yang paling sombong adalah orang yang merendahkan yang lain, dan orang yang paling jahat adalah mereka yang pura-pura baik.”