Kamis,
3 Oktober 2013
Kemarin
tanggal 1, gue dan 2 temen gue mampir di tempat les intens, les yang buat masuk
Perguruan Tinggi Negeri atau PTN. Setelah melalui kegalauan yang walaupun ga
panjang tapi lumayan berat dan dikejar-kejar, keputusannya udah gue dapet
semalem. Pertimbangannya, kalau gue masuk univ swasta deket gue, uang masuk
mahal, uang per semester mahal, dan ga ada jurusan yang gue bisa masuki selain
akuntansi. Pertimbangan kedua, kalau gue masuk univ negeri yaitu Universitas
Indonesia, ga ada uang pangkal, uang persemester lebih murah sampe setengahnya,
jurusannya aneh-aneh (tujuan gue antropologi atau kebudayaan dan bahasa Korea) yang
ga ada di universitas lain, dan lulus-lulus gue lebih dihargai. Apalagi kalau
gue masuk antropologi, yang mana fakultas ilmu sosial dan politik, salah satu
fakultas bergengsi di universitas bergengsi. Bisa gue pastikan, seantero
keluarga besar dari bokap-nyokap, akan lebih menghargai kedua orang tua gue,
secara berhasil membesarkan anak yang berhasil. Cuma kalau gue kuliah di UI,
gue butuh biaya hidup yang angkanya lumayan, kalau diakumulasiin jadi sekitar
70% lebih mahal dari biaya gue di univ swasta ini.
Tapi
kemudian masalah muncul timbul tenggelam. Tiba-tiba temen gue satu persatu
mundur dari perjuangan menuju universitas negeri, dengan alasan a-z. Kemudian,
masalah yang paling penting yang ternyata ga mudah untuk gue tuntaskan, bokap
gue ga setuju. Alasannya? Dia ga mau jauh dari gue. Alasan paling ga jelas.
Masalahnya, gue ga dalam hubungan sedekat itu dengan bokap gue. Gue lebih deket
ke nyokap, dan nyokap setuju gue pergi sebagai cara membuat gue mandiri.
Seandainya bokap ga setuju karena pengeluaran investasi yang mahal itu, mungkin
gue akan lebih menerima. Masalahnya bokap gue ga mungkin udah itung-itung tentang
uang, dan malah sejauh yang gue beritahu, biaya masuk UI jauh lebih murah
daripada univ swasta.
Tapi
yang bikin gue sesenggukan ga ketolongan begini bukan karena bokap yang tidak
merestui. Ini bikin gue hancur ketika gue mendengar temen gue mundur dari
misinya ke universitas negeri, dan gue sadar gue pun ga bisa ke sana. Nyokap
gue ga akan setuju gue sendirian di sana. Gue udah bermimpi ke Korea, Singapur,
bahkan Jogja untuk menimba ilmu. Tapi ke UI yang cuma di Depok aja ga dikasih
bokap. Dan gue harus berhenti berjuang memperoleh restu ke bokap karena
keputus-asaan temen gue. Dan akhirnya gue akan terjebak dalam usaha
menyeimbangkan debit kredit sampai gue mati
Ini lebih kaya gue dihalang-halangi, tapi sebenernya semua karena ketidakmampuan gue, karena terlalu lama berleha-leha. 17 tahun gue leha-leha, ini akibatnya.
Gue
suka angka, dan nilai akuntansi gue terbilang baik. Tapi di banding angka, gue
lebih menyukai tulisan yang dalam maksud gue ini sosial tentunya, meskipun
mereka kurang berpihak pada gue soal nilai. Kesukaan gue membaca dan menulis
ini, cuma berhasil dapet 7,25 di rata-rata rapot kelas 10 dan 11. Kesukaan gue
nonton acara impor macem RunningMan sampai movie Korea bersubtitle inggris cuma
membawa nilai rata-rata Inggris gue ga sampai +3 dari KKM. Matematika,
pelajaran yang gue khianati waktu kelas 10 karena memilih untuk menjauh dari
mendalaminya itu malah memberi gue makan banyak, sampai +8 dari KKM. Trus gue
musti gimana?
Kemudian,
yang bikin gue membuang jauh-jauh formulir pendaftaran itu, adalah program
pascasarjana. Tidak menutup kemungkinan gue akan mencoba menempuh program itu.
Gue ga terbilang menyukai belajar, tapi gue ga benci untuk tahu lebih banyak
dari yang gue tau sekarang. Misalnya gue mau ambil program pascasarjana jurusan
psikologi. Memang,memang ini diperbolehkan. Tapi apa itu akan menunjang karier
gue? Dua hal itu ga ada hubungannya sama sekali, objek yang dipelajar di
akuntansi adalah pencatatan transaksi, variasi jual beli dan lain-lainnya.
Psikologi? Gue cuma buang-buang waktu. Gue juga mau memperdalam bahasa Korea.
Apa ada hubungannya? Bisa gue simpulkan, ga ada jurusan lain yang cocok untuk
lulusan akuntansi. Selain perpajakan dan cabang akuntansi lainnya.
Kemarin
gue liat mata kuliah jurusan Antropologi UI, dan gue jatuh cinta. Belajar
budaya, etnografi, dan ada unsur sainsnya. Gue suka sains-sosial, hubungan
keduanya. Akuntansi? Gue akan menikah sama buku folio, dan nge-date sama
transaksi setiap hari. Ini yang namanya hidup? Gue mau ngambil kursus bahasa
Korea, tapi gue berpikir ulang, apakah kursus itu hanya akan membuang uang,
tenaga, dan waktu gue.
Gue ga
menyalahkan siapapun atas kegagalan gue mencicipi kursi universitas terbaik
ke-3 di Indonesia itu. Gue ga kuat nahan mata gue kering ketika sadar betapa
lemahnya gue. Betapa gue ‘ga bisa apa-apa’. Betapa gembelnya gue yang ga jadi
mendaki gunung karena teman yang bahkan bukan soulmate gue dan ga pernah
sekelas gue. Betapa mimpi hidup gue yang berwarna pelangi itu kini tinggal
hitam putih. Dan gue ga punya harapan lain selain ambil S2 perpajakan.
Lalu
gue berpikir, untuk menjadi mesin pembuat uang, dan menjadi bahagia saat
menghabiskannya. Tapi bahkan lulusan S2 perpajakan, cuma akan jadi tingkat
entah ke berapa di perusahaan, dan gue akan jadi bawahan selamanya.
Akuntansi
adalah ilmu mati. Kalau ada yang punya sanggahan tolong beritahu gue agar tidak
mati bosan bahkan saat memikirkannya saja. Ga inovatif, ga kreatif. Yah, gue
memang ga tergolong anak kreatif inovatif, tapi setidaknya ada yang baru
sekalipun setiap 10 tahun sekali. Ilmu sejarah misalnya.
Mata
gue udah cukup bengkak, kalau ditambah lagi gue khawatir kantong mata gue
menghalangi penglihatan. Gue akan mungut formulir pendaftaran univ swasta dari tong sampah dulu, dan menyetrikanya sampai lurus lagi.Dan
membuang semua file lunak maupun fisik tentang kumpulan soal SNMPTN.
That’s all for today.